Jumat, 22 Desember 2017

Masalah : Kurangnya interaksi sosial antara anak yang mengalami hambatan
pendengaran atau anak tunarungu dengan anak normal
Topik : Pentingnya pendidikan karakter bagi anak tunarungu agar      mempermudah anak dalamberinteraksi dengan anak normal

Latar Belakang Masalah

World    Health    Organization (WHO)    mengatakan    bahwa    80%  penyandang  disabilitas  berada  di  negara-negara  berkembang  tidak  terkecuali Indonesia. Sepertiga dari 80% jumlah penyandang disabilitas merupakan anak-anak.  Data  WHO  tahun  2003  menunjukkan  bahwa  jumlah  anak  penyandang disabilitas  di  Indonesia  ada  7-10%  dari  jumlah  populasi  di  Indonesia  atau sekitar  295.250  jiwa.
Berdasarkan  Pusat  Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2014)   disabilitas   pendengaran   menempati posisi  ketiga  setelah  disabilitas  lebih  dari  satu  jenis  (disabilitas  ganda)  dan disabilitas  penglihatan.  Jumlah  prosentase  untuk  disabilitas  adalah  7,87%  dari total disabilitas yang ada di Indonesia.
Anak-anak  yang  menyandang  disabilitas  pendengaran  disebut  dengan  anak   tunarungu.   Anak   tunarungu   merupakan   anak-anak   yang   mengalami disfungsi  pendengaran  dan  mempengaruhi  kehidupan  sehari-sehari  (Somantri,2007). Sedangkan,   untuk   anak-anak   yang   tidak   mengalami   gangguan pendengaran akan disebut sebagai anak normal. Disfungsi pendengaran yang dialami   oleh   anak   tunarungu memiliki   beberapa   dampak,   misalnya   anak tunarungu    mengalami    kesulitan    memproduksi    bahasa    dan    mengalami keterlambatan dalam meniti fase perkembangan.
Anak tunarungu mengalami gangguan pendengaran sehingga memiliki hambatan dalam perkembangan bahasa dan komunikasi. Sebagai akibatnya, mereka mengalami kesulitan untuk menguasai bahasa, kekurangan kosakata, sulit mengartikan kosakata, dan sulit mengartikan kata-kata yang mengandung arti kiasan. Pada umumnya intelegensi anak tunarungu secara potensial sama dengan anak normal pada umumnya, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan bahasanya, keterbatasan informasi, dan kurangnya daya abstraksi anak. Akibat ketunarunguan itu menghambat proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas. Hal ini menimbulkan masalah-masalah dalam proses pembelajaran, salah satu permasalahan yang terjadi adalah masih kurangnya pemahaman anak tunarungu dalam pokok-pokok bahasan tertentu terutama yang bersifat abstrak.
Sesuai dengan karakteristiknya, anak tunarungu mengalihkan fungsi indra pendengarannya pada indera penglihatan. Sehingga informasi, pengetahuan dan pengalamannya lebih banyak diperoleh melalui indera penglihatan. Dilihat dari kondisi anak tunarungu diatas, anak tunarungu bisa dikatakan sebagai anak yang mebutuhkan pengembangan dalam visual, maka akan lebih baik apabila dalam proses belajarnya disekolah guru memberikan pengalaman langsung melalui media pembelajaran, misalnya dengan benda asli, tiruan, maupun gambar. Oleh karena itu pada mata pelajaran tertentu yang sifatnya abstrak dan menuntut banyak pengalaman nyata dibutuhkan suatu pendekatan pembelajaran secara khusus apabila anak tidak memahami penggunaan bahasa oral atau gerak bibir sama sekali.
Kesulitan  anak  tunarungu  dalam  mendengar  dan  memproduksi  bahasa menyebabkan   mereka   mengalami   hambatan   dalam   perkembangan   bahasa. Anak tunarungu mengalami keterlambatan  berbicara  jika  dibandingkan  dengan  anak normal  pada umumnya.  Selain  itu,  anak  tunarungu memerlukan  waktu  yang  lebih  lama untuk belajar sesuatu dibandingkan dengan anak normal. Misalnya, seorang anak normal  mampu  untuk  membuat  frasa  bermakna  pada  usia  5  tahun sedangkan  anak  tunarungu  belum  tentu  menguasai  hal  tersebut  di  usia  yang sama. “Anak normal‟ mampu menguasai kosakata  yang lebih banyak  karena  mereka  memiliki  pendengaran  yang  baik sehingga  mampu untuk menangkap hal tersebut dan tersimpan di memori.
Disfungsi   pendengaran   juga   membuat   anak   tunarungu   mengalami keterlambatan dalam perkembangan sosio-emosi. Mereka mengalami kesulitan untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain. sehingga mereka lebih sering menghasilkan emosi negatif. Emosi   negatif   inilah   yang   membuat   mereka   mengalami   kesulitan   untuk berinteraksi  dengan  sebaya.  Mereka  cukup  sulit  untuk  diterima  dan  dipahami oleh orang-orang di sekitarnya.
Perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat mengharuskan kita untuk mengikuti perkembangan tersebut, terutama dalam kehidupan sehari-hari untuk membangun sumber daya manusia yang handal dan berkualitas. Teknologi informasi tersebut adalah media yang membantu dalam mempelajari bahasa isyarat secara umum yang dipahami sebagai media berkomunikasi pada umumnya dimengerti secara oral (berbicara) dan dalam bentuk tulisan (Wijayanto, 2010).
Kesulitan  berinteraksi  dengan  sebaya  juga  merupakan  hambatan  dalam perkembangan  sosio-emosi. Kapabilitas  seseorang  untuk  berelasi  dalam  lingkungan  sosial akan berkembang pada masa anak-anak. Berelasi dalam lingkungan sosial akan tampak  ketika  anak-anak  sedang  bermain. Bermain   dengan   teman   sebaya   memiliki   peran   penting   dalam   kualitas pertemanan  di  masa  depan.  Hal  ini  juga  yang  menjadi  penentu  keberhasilan seorang   anak   untuk   mempertahankan   relasinya   dengan   teman   sebayanya.
Berelasi   dalam   lingkungan   sosial   dan   bermain   akan   membangun interaksi  sosial.  Interaksi  sosial  merupakan  suatu  proses  yang dialami  oleh semua  manusia tidak  terkecuali antar anak tunarungu  dan  anak  normal. Proses  interaksi  ini  terjadi  antara  dua  orang  atau  lebih yang  melibatkan  komunikasi  dan  kontak  sosial. Interaksi sosial  pada  anak  tunarungu juga merujuk  pada  adanya  komunikasi  linguistik dan nonlinguistik serta permainan sosial.
Anak  tunarungu  cenderung  untuk  membangun  interaksi  sosial  dengan sesama  anak  tunarungu  karena  mereka  memiliki  tingkat  pendengaran  yang kurang  lebih  sama. Selain  itu,  komunikasi  yang  terjadi  antara anak  tunarungu  dengan  anak normal  terjadi lebih sedikit  dibandingkan dengan antar-anak tunarungu. Hal ini tampak pada penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa anak tunarungu seringkali ditolak oleh anak normal ketika mencoba  untuk  melakukan  kontak  sosial.  Terkadang  komunikasi  yang  terjadi antara  anak  tunarungu  dengan  anak normal  juga  mengalami  kekurangan konten linguistik dan  berakhir dengan  cepat.
Berdasarkan  pengalaman  peneliti,  anak  tunarungu  yang  menempuh pendidikan  disekolah  inklusi  lebih  sering  menghabiskan  waktu  di  sekolah sendirian.   Teman-temannya yang dapat mendengar   cenderung untuk mengabaikan kehadirannya. Di luar jam sekolah, anak tunarungu ini bisa berinteraksi dengan cukup baik dengan sesama anak  tunarungu  dan  bergabung  dalam  suatu komunitas. Mereka bisa bercerita suatu hal dengan bahasa mereka sendiri. Hal ini membuktikan bahwa anak tunarungu merasa lebih nyaman   untuk berinteraksi  dengan sesama tunarungu dibandingkan dengan anak normal.
Anak  tunarungu juga cenderung meminta klarifikasi terutama tentang informasi  baru  dibandingkan  dengan  anak normal. Anak   tunarungu   juga memberikan   sentuhan   netral   ketika mengajak anak normal berinteraksi sedangkan ketika dengan sesama  anak tunarungu  mereka  memutar  kepala  temannya  agar  melihat  dirinya  ketika
mengajak  berinteraksi.  Terkadang,  anak  tunarungu  langsung  bergabung  dalam permainan  ketika  sedang  bersama  sesama  anak  tunarungu  lainnya.
Kontak  sosial seperti  sentuhan  fisik bisa  terjadi  di  antara  sesama  anak tunarungu dan anak normal akan tetapi hal ini belum tentu berlaku sama pada komunikasi.   Terkadang,   setelah   kontak   sosial   terjadi   akan   ada   proses penyampaian  ide  atau  perasaan.  Hal  ini  yang  terkadang  tidak  tersampaikan oleh anak tunarungu dan anak normal. Sesama anak tunarungu mampu untuk berkomunikasi satu sama lain sehingga mereka paham pesan yang disampaikan  tetapi hal ini berbeda dengan komunikasi antara anak tunarungu dan anak normal. Terkadang mereka mencoba untuk berkomunikasi tetapi pesan atau maksud  susah untuk tersampaikan  karena  anak  tunarungu  sulit  untuk  menerima stimulus  berupa  audio. Bahwa   anak   tunarungu cenderung  untuk  menggunakan  komunikasi  non  linguistik  ketika  berinteraksi baik dengan sesama tunarungu atau dengan anak normal.
Bentuk komunikasi  dan  kontak  sosial  anak  tunarungu  yang  berbeda membuat  anak  tunarungu  seringmengalami  penolakan  dari anak normal.  Penolakan  yang  dialami  anak  tunarungu  membuat  mereka kesulitan  membangun  interaksi  sosial  sehingga mereka tidak  memiliki  banyak teman.  Mereka  tidak  memiliki banyak teman dari kalangan anak normal karena cara  berinteraksi yang berbeda. Beberapa anak normal juga merasa kurang nyaman dengan keterbatasan yang dialami oleh anak tunarungu sehingga memilih untuk mengacuhkan mereka.
Kegagalan  anak  tunarungu  dalam  interaksi  sosial  memiliki  andil  yang cukup besar untuk kehidupan jangka panjang mereka. Mereka yang mengalami penolakan  saat  berinteraksi  dengan  teman  sebayanya  akan  merasa  kesepian yang  berkepanjangan. Penolakan  ini  juga menjadi acuan apakah seorang anak tunarungu akan terus berinteraksi atau   menghindari   suatu interaksi. Bentuk interaksi  sosial  yang  berbeda antar anak tunarungu  dan  anak tunarungu dengan  anak normal membuat peneliti ingin menggambarkan bagaimana  interaksi  sosial antar anak tunarungu dan anak tunarungu dengan “anak  dengar‟. Hal  ini  disebabkan  penelitian  sebelumnya meneliti  tentang interaksi sosial  pada  anak  tunarungu  yang  menggunakan  alat  bantu  dengar  dan gambaran tentang  interaksi  sosial mereka pun belum banyak diteliti. Selain itu, penelitian antara komunikasi dan permulaan interaksi dilakukan secara terpisah pada anak tunarungu dan anak normal.
Ada pula penelitian  yang meneliti interaksi sosial anak tunarungu pada usia sekolah sehingga rentang usia responden 2 tahun –10 tahun. Berdasarkan hal tersebut, peneliti membatasi rentang usia  responden  dalam  penelitian  ini  6  tahun –12  tahun.  Responden  disini adalah anak  tunarungu  yang  tidak menggunakan  alat  bantu  dengar.  Mereka juga berinteraksi baik dengan anak tunarungu maupun dengan anak normal. Pengambilan  data  pada  penelitian  sebelumnya menggunakan  berbagai macam   metode,   seperti   observasi,   kuesioner,   dan   eksperimen. Observasi banyak digunakan pada responden dengan   usia pra   sekolah dan   pengambilan   data   responden   usia   sekolah menggunakan   kuesioner   dan   eksperimen. Metode pengambilan  data  dalam  penelitian ini  akan  menggunakan  observasi  untuk melihat interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan anak normal.
Alasannya   adalah   untuk   menggambarkan   interaksi antar-anaktunarungu dan anak tunarungu dengan anak normal diperlukan pengamatan secara langsung pada lingkungan yang sesungguhnya.
Harapan peneliti dengan adanya penelitian ini hasil yang  ditemukan merupakan  perilaku-perilaku  interaksi  sosial antar-anak tunarungu  dan  anak tunarungu dengan  anak normal.  Berdasarkan hal tersebut, maka gambaran perilaku  anak  tunarungu  ketika  berinteraksi  dengan  sesamanya  dan  anak normal  dapat  terlihat  jelas bagaimanakah   perilaku   yang   muncul   selama interaksi berlangsung.

Rumusan Masalah
Berdasarkan  latar  belakang  di  atas  maka  rumusan  masalah  dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah interaksi   sosial antara anak  tunarungu dan   anak tunarungu dengan normal?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan  masalah  tersebut  maka  penelitian  ini  bertujuan  untuk menggambarkan bagaimana interaksi  sosial antar anak  tunarungu dan  anak tunarungu dengan anak normal.
Manfaat Penelitan
Secara Teoretis
Memberikan sumbangan pengetahuan dalam ranah psikologi perkembangan dan   psikologi sosial tentang interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan anak normal.
Secara Praktis
Penelitian ini memberikan  informasi interaksi  sosial  bagi  orangtua dan  guru  agar memahami  interaksi  sosial antar-anak tunarungu dan  anak tunarungu dengan anak normal. Selain memberikan informasi, diharapkan orangtua dan guru bisa memberikan dukungan kepada anak tunarungu untuk berinteraksi dengan anak normal agar anak tunarungu dapat menjalin relasi dan  mempertahan  relasi  dengan  anak  normal  di  masa  depan  sehingga mereka tidak merasa kesepian.


TINJAUAN PUSTAKA

Interaksi Sosial
Berinteraksi dengan teman sebaya memiliki fungsi krusial terhadap perkembangan   kehidupan sosial individu  terutama anak - anak. Salah satu bentuk sosialisasi adalah  interaksi  sosial. Interaksi sosial bisa terjadi dengan siapa saja dan di mana saja. Interaksi sosial pertama kali terjadi pada masa kanak-kanak. Pentingnya interaksi sosial  pada masa ini adalah membantu anak untuk belajar memahami perspektif orang lain terhadap realita yang  ada. Hal penting lainnya adalah seorang anak belajar untuk bernegosiasi dan belajar  mengenai  manajemen konflik.
Definisi
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antarindividu, individu (seseorang) dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Tanpa adanya interkasi sosial maka tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Proses sosial adalah suatu interaksi atau hubungan timbal balik atau saling mempengaruhi antar manusia yang berlangsung sepanjang hidupnya didalam amasyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto, proses sosial diartikan sebagai cara-cara berhubungan yang dapat dilihat jika individu dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu serta menentukan sistem dan bentuk hubungan sosial.
Homans ( dalam Ali, 2004: 87) mendefinisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran atau hukuman dengan menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi pasangannya. Konsep yang dikemukakan oleh Homans ini mengandung pengertian bahwa interaksi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam interaksi merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu lain yang menjadi pasangannya.
Sedangkan menurut Shaw, interaksi sosial adalah suatu pertukaran antarpribadi yang masing- masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka, dan masing- masing perilaku mempengaruhi satu sama lain. Hal senada juga dikemukan oleh Thibaut dan Kelley bahwa interak si sosial sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sam lain atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi dalam kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain.
Menurut Bonner ( dalam Ali, 2004) interaksi merupakan suatu hubungan antara dua orang atau lebih individu, dimana kelakuan individu mempengaruhi, mengubah atau mempengaruhi individu lain atau sebaliknya.
Pengertian Interakasi sosial menurut beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa, interaksi adalah hubungan timbal balik anatara dua orang atau lebih, dan masing-masing orang yang terlibat di dalamnya memainkan peran secara aktif. Dalam interaksi juga lebih dari sekedar terjadi hubungan antara pihak- pihak yang terlibat melainkan terjadi saling mempengaruhi.

Komponen Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu
Soekanto (2006) mengemukakan bahwa suatu interaksi sosial baru akan terjadi apabila ada   kontak sosial dan komunikasi. Dua hal ini ditetapkan sebagai syarat terjadinya interaksi  sosial. Apabila hanya terjadi kontak sosial tanpa ada komunikasi maka kontak sosial tidak  berarti apa-apa. Berikut penjelasan tentang kontak sosial dan komunikasi:
Kontak Sosial
Kontak   sosial   merupakan   tahap pertama   terjadinya   interaksi sosial. Menurut  Arifin  (2015)  kontak  sosial  merupakan  hubungan  antara individu  atau  kelompok  yang  di  dalamnya  terdapat  pemahaman  tentang tujuan  masing-masing.
Menurut Soekanto (2013) kontak sosial terjadi apabila terdapat suatu tindakan dari satu orang dan ditanggapi oleh orang yang lainnya. Selain itu, kontak sosial terjadi apabila salah satu individu menyadari keberadaan individu lain. Berdasarkan paparan pendapat ahli di atas dapat  disimpulkan  bahwa  kontak  sosial  adalah  hubungan  antara individu  atau  kelompok  yang  melibatkan  kesadaran  akan  keberadaan individu lainnya.
Menurut Soekanto (2013) kontak sosial memiliki dua sifat, yaitu Kontak  sosial  primer (langsung) dan kontak sosial sekunder (tidak langsung). Kontak sosial primer merupakan suatu hubungan antar individu  yang  saling  bertatap  muka  secara  visual  dan memiliki emosi tertentu dalam pergaulan. Misalnya, berjabat tangan, saling senyum, dan kontak mata. Sebaliknya, kontak sosial sekunder (tidak  langsung) merupakan kontak sosial yang membutuhkan pihak perantara di antara individu dan ada pengaruh dari luar.
Perantara ini bisa berupa alat atau benda untuk membantu 2 atau lebih individu. Misalnya  berbicara jarak jauh dengan menggunakan telepon. Selain itu, perantara juga bisa individu itu sendiri. Misalnya Individu A menceritakan perilaku individu B kepada individu C.  Hal  ini  memunculkan kontak antara individu A dan B dengan informasi yang diberikan oleh individu C (Soekanto, 2006). Berdasarkan  pemaparan  di  atas,  definisi  kontak  sosial  dalam penelitian  ini  adalah  hubungan  antara  individu  atau  kelompok  yang menyadari keberadaan orang lain, bertemu secara visual, dan melibatkan emosi  tertentu  sehingga  ada  tindakan  yang  ditanggapi  oleh  orang  lain. Definisi ini disimpulkan berdasarkan definisi kontak sosial secara umum dan definisi kontak sosial primer karena hal tersebut yang akan dideskripsikan dalam penelitian ini.
Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gesture tubuh, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi nonverbal.

MEDIA PEMBELAJARAN POP UP