Hakikat Penelitian
Penelitian ilmiah adalah suatu kegiatan yang sistematik dan obyektif untuk mengkaji suatu masalah dalam usaha untuk mencapai suatu pengertian mengenai prinsip – prinsipnya yang mendasar dan berlaku umum (teori) mengenai masalah tersebut. Penelitian yang dilakukan, berpedoman pada berbagai informasi (yang terwujud sebagai teori – teori) yang telah dihasilkan dalam penelitian – penelitian terdahulu, dan tujuanya adalah untuk menambah atau menyempurnakan teori yang telah ada mengenai masalah yang menjadi sasaran kajian. Penelitian ilmiah dilakukan dengan berlandaskan pada metode ilmiah dan mengikuti cara – cara ilmiah yang telah ditentukan serta dilaksanakan dengan adanya unsur kesengajaan bukan secara kebetulan dan lebih menggunakan penalaran atau aplikasi berfikir deduktif dan induktif.
Cara ilmiah sendiri menurut Sulistyo Basuki (2010) meliputi :
Bebas dari sentimen pribadi, obyektif
Terbuka, dapat diulang oleh ilmuan lain dengan metode yang sama
Rasa ingin tahu
Menghargai karya orang lain
Mempertahankan kebenaran
Kritis
Menjangkau ke masa depan
Selain itu penelitian ilmiah dikatakan ilmiah jika dalam kegiataanya didasarkan pada karateristik keilmuan yaitu :
Rasional :
Penyelidikan ilmiah adalah sesuatu yang masuk akal dan terjangkau oleh penlaran manusia.
Empiris :
Menggunakan cara- cara tertentu yang dapat diamati orang lain dengan menggunakan panca indera manusia.
Sistematis :
Menggunakan proses dengan langkah – langkah tertentu yang bersifat logis.
Ciri penelitian ilmiah menurut Sulistyo Basuki adalah :
Penelitian ilmiah berdasarkan keyakinan bahwa setiap fenomena yang kasat mata dapat dijelaskan secara ilmiah. Maksudnya bahwaalam semesta merupakan kosmos yang teratur, di dalamnya selalu ada sebab akibat. Jika manusia primitif menjelaskan sesuatu yang mereka lihat atau dengar selalu dikaitkan dengan campur tangan dewa atau kekuatan lain, sedangkan manusia modern menekankan pada sebab- sebab ilmiah.
Penelitian ilmiah menolak kebenaran berdasarkan kewibawaan, mengantinya dengan pendapat bahwa sesuatu itu sahih bilamana ada bukti yang mendukungnya. Penelitian tidak mengandalkan pendapat orang tua kecuali bila telah dibuktikan dengan fakta.
Tujuan penelitian ilmiah dapat dibedakan menjadi dua tujuan antar lain :
Tujuan penelitian ilmiah secara umum
Untuk memperoleh informasi
Penelitian ilmiah biasanya akan berhubungan dengan informasi atau data yang masih baru dilihat dari aspek sipeneliti. Yaitu fakta baru diungkap dan disusun secara sistematis.
Untuk mengembangkan dan menjelaskan
Dengan melakukan pengembangan dan usaha menjelasakn melalui teori yang didukung fakta – fakta penunjang.
Untuk menerangkan, memprediksi dan mengontrol suatu perubahan
Dengan meneliti akan dapat menerangkan keterkaiatan variabel yang ada.
Tujuan penelitian ilmiah secara khusus
Mendeskripsikan fenomena
Mempeorleh pengetahuan yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu fenomena.
Menjelaskan hubungan
Berusaha untuk menjelaskan hubungan antara fenomena terutama hubungan sebab akibat
Meramalkan fenomena yang akan terjadi
Penjelasan hubungan sebab akibat sangat bergunamembuat generalisasi yang berlaku dan bisa juga menguji kebenaran.
Fungsi penelitian ilmiah
Sebagai cara untuk mengembangkan ilmu pengetahuan baik berupa temuan baru, pengembangan ilmu atau teori yang ada maupun koreksi terhadap ilmu atau teori yang telah usang.
Sebagai cara untuk pengembangan teknologi
Sebagai penyumbang informasi bagi pengambilan kebijakan dan perencaanaan program pembangunan
Sebagai alat pemecahan masalah praktis di lapangan
Menemukan sesuatu yang baru
Walaupun banyak cara untuk menemukan informasi atau karya baru dalam dunia pengetahuan penemuan yang dilakukan melalui sesuatu kegiatan penelitian adalah hasil yang andal dan mendapat pengakuan dari kalangan ilmuan
Menemukan permasalahan penelitian.
Untuk mengenal dan memilih penelitian permasalahan diperlukan kejelian dan penggunaan kriteria yang baik dari para peneliti.
Metode Ilmiah
Metode ilmiah adalah proses keilmuan yang runtut atau sistematis dalam rangka memperoleh pengetahuan tertentu berdasarkan bukti fisis. Dalam bahasa Inggris metode ilmiah disebut sebagai scientific method. Dalam metode ilmiah lmuwan atau peneliti melakukan pengamatan terhadap suatu masalah tertentu serta membuat hipotesis mengenai hal tersebut. Hipotesis yang telah dibuat akan dibuktikan dengan melakukan eksperimen.
Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian adalah sekumpulan peraturan, kegiatan, dan prosedur yang digunakan oleh pelaku suatu disiplin ilmu. Metodologi juga merupakan analisis teoritis mengenai suatu cara atau metode. Penelitian merupakan suatu penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan sejumlah pengetahuan, juga merupakan suatu usaha yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.
Dalam Metodologi, peneliti menggunakan berbagai kriteria yang berbeda untuk memecahkan masalah penelitian yang ada. Sumber yang berbeda menyebutkan bahwa penggunaan berbagai jenis metode adalah untuk memecahkan masalah. Dalam Metodologi, peneliti selalu berusaha untuk mencari pertanyaan yang diberikan dengan cara-cara yang sistematis yang digunakan dan berupaya untuk mengetahui semua jawaban sampai dapat mengambil kesimpulan. Jika penelitian tidak dilakukan secara sistematis pada masalah, akan lebih sedikit kemungkinannya untuk dapat mengetahui hasil akhir. Untuk menemukan atau menjelajahi pertanyaan penelitian, peneliti akan menghadapi berbagai permasalahan, dimana semua itu baru dapat diselesaikan secara efektif jika menggunakan metodologi penelitian yang benar.
Dalam rangka untuk merencanakan proses penelitian secara keseluruhan dan agar penelitian dapat selesai tepat waktu serta penelitian berjalan di arah yang benar, maka peneliti haruslah hati-hati dalam memilih metodologi. Sehingga proses pemilihan metode penelitian adalah bagian yang sangat penting di dalam proses penelitian. Dengan kata lain; Metodologi berguna dalam rangka memetakan pekerjaan penelitian secara keseluruhan dan memberikan kredibilitas kepada hasil penelitian yang dicapai nantinya.
Langkah Langkah dalam Metode Penelitian
Karena metode ilmiah dilakukan secara sistematis dan berencana, maka terdapat langkah-langkah yang harus dilakukan secara urut dalam pelaksanaannya. Setiap langkah atau tahapan dilaksanakan secara terkontrol dan terjaga. Adapun langkah-langkah metode ilmiah adalah sebagai berikut:
Merumuskan masalah.
Merumuskan hipotesis.
Mengumpulkan data.
Menguji hipotesis.
Merumuskan Hipotesis
Merumuskan Masalah
Berpikir ilmiah melalui metode ilmiah didahului dengan kesadaran akan adanya masalah. Permasalahan ini kemudian harus dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya.Dengan penggunaan kalimat tanya diharapkan akan memudahkan orang yang melakukan metode ilmiah untuk mengumpulkan data yang dibutuhkannya, menganalisis data tersebut, kemudian menyimpulkannya. Perumusan masalah adalah sebuah keharusan
Merumuskan Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah yang masih memerlukan pembuktian berdasarkan data yang telah dianalisis. Dalam metode ilmiah dan proses berpikir ilmiah, perumusan hipotesis sangat penting. Rumusan hipotesis yang jelas dapat memabntu mengarahkan pada proses selanjutnya dalam metode ilmiah. Seringkali pada saat melakukan penelitian, seorang peneliti merasa semua data sangat penting. Oleh karena itu melalui rumusan hipotesis yang baik akan memudahkan peneliti untuk mengumpulkan data yang benar-benar dibutuhkannya. Hal ini dikarenakan berpikir ilmiah dilakukan hanya untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan.
Mengumpulkan Data
Pengumpulan data merupakan tahapan yang agak berbeda dari tahapan-tahapan sebelumnya dalam metode ilmiah. Pengumpulan data dilakukan di lapangan. Seorang peneliti yang sedang menerapkan metode ilmiah perlu mengumpulkan data berdasarkan hipotesis yang telah dirumuskannya. Pengumpulan data memiliki peran penting dalam metode ilmiah, sebab berkaitan dengan pengujian hipotesis. Diterima atau ditolaknya sebuah hipotesis akan bergantung pada data yang dikumpulkan.
Menguji Hipotesis
Sudah disebutkan sebelumnya bahwa hipotesis adalah jawaban sementaradari suatu permasalahan yang telah diajukan. Berpikir ilmiah pada hakekatnya merupakan sebuah proses pengujian hipotesis. Dalam kegiatan atau langkah menguji hipotesis, peneliti tidak membenarkan atau menyalahkan hipotesis, namun menerima atau menolak hipotesis tersebut. Karena itu, sebelum pengujian hipotesis dilakukan, peneliti harus terlebih dahulu menetapkan taraf signifikansinya. Semakin tinggi taraf signifikansi yang tetapkan maka akan semakin tinggi pula derjat kepercayaan terhadap hasil suatu penelitian.Hal ini dimaklumi karena taraf signifikansi berhubungan dengan ambang batas kesalahan suatu pengujian hipotesis itu sendiri.
Merumuskan Kesimpulan
Langkah paling akhir dalam berpikir ilmiah pada sebuah metode ilmiah adalah kegiatan perumusan kesimpulan. Rumusan simpulan harus bersesuaian dengan masalah yang telah diajukan sebelumnya. Kesimpulan atau simpulan ditulis dalam bentuk kalimat deklaratif secara singkat tetapi jelas. Harus dihindarkan untuk menulis data-data yang tidak relevan dengan masalah yang diajukan, walaupun dianggap cukup penting. Ini perlu ditekankan karena banyak peneliti terkecoh dengan temuan yang dianggapnya penting, walaupun pada hakikatnya tidak relevan dengan rumusan masalah yang diajukannya.
Etika dalam Metode Penelitian
Kejujuran
Jujur dalam pengumpulan bahan pustaka, pengumpulan data, pelaksanaan metode dan prosedur penelitian, publikasi hasil. Jujur pada kekurangan atau kegagalan metode yang dilakukan. Hargai rekan peneliti, jangan mengklaim pekerjaan yang bukan pekerjaan Anda sebagai pekerjaan Anda.
Obyektivitas
Upayakan minimalisasi kesalahan dalam rancangan percobaan, analisis dan interpretasi data, penilaian ahli/rekan peneliti, keputusan pribadi, pengaruh pemberi dana/sponsor penelitian.
Integritas
Tepati selalu janji dan perjanjian; lakukan penelitian dengan tulus, upayakan selalu menjaga konsistensi pikiran dan perbuatan.
Ketelitian Berlaku teliti dan hindari kesalahan karena ketidakpedulian
secara teratur catat pekerjaan yang Anda dan rekan anda kerjakan, misalnya kapan dan di mana pengumpulan data dilakukan. Catat juga alamat korespondensi responden, jurnal atau agen publikasi lainnya.
Keterbukaan
Secara terbuka, saling berbagi data, hasil, ide, alat dan sumber daya penelitian. Terbuka terhadap kritik dan ide-ide baru.
Penghargaan terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
Perhatikan paten, copyrights, dan bentuk hak-hal intelektual lainnya. Jangan gunakan data, metode, atau hasil yang belum dipublikasi tanpa ijin penelitinya. Tuliskan narasumber semua yang memberikan kontribusi pada riset Anda. Jangan pernah melakukan plagiasi.
Penghargaan terhadap kerahsiaan (Responden)
Bila penelitian menyangkut data pribadi, kesehatan, catatan kriminal, atau data lain yang dianggap responden sebagai data rahasia, maka peneliti harus menjaga kerahasiaan data tersebut.
Publikasi yang terpercaya
Hindari mempublikasikan penelitian yang sama secara berulang-ulang ke berbagai media (seminar,jurnal).
Pembinaan yang konstruktif
Bantu membimbing, memberi masukan dan arahan bagi mahasiswa/peneliti pemula. Perkenankan mereka mengembangkan ide mereka menjadi penelitian yang berkualitas.
Penghargaan terhadap rekan kerja / kolega
Bargai dan lakukan rekan penelitian anda sebagaimana semestinya. Bila penelitian dilakukan oleh suatu tim akan dipublikasikan, maka peneliti dengan konstribusi terbesar ditetapkan sebagai penulis pertama (first author), sedangkan yang lain menjadi penulis kedua (co-author(s)). Urutan menunjukkan besarnya konstribusi dalam penelitian.
Tanggung jawab sosial
Upayakan penelitian Anda beguna demi kemaslahan masyarakat, meningkat taraf hidup, memudahkan kehidupan dan meringankan beban hidup masyarakat. Anda juga bertanggung jawab melakukan pendampingan bagi masyarakat yang ingin menghasilkan penelitian Anda.
Tidak melakukan Diskriminasi
Hindari melakukan pembedaan perlakuan pada rekan kerja atau mahasiswa karena alasan jenis kelamin,ras,suku,agama dan faktor-faktor yang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kompetensi dan integritas ilmiah.
Kompetensi
Tingkat kemampuan dan keahlian melalui pendidikan dan pembelajaran seumur hidup; secara bertahap tingkatkan kompetensi anda sampai tahap pakar.
Legalitas
Pahami dan patuhi peraturan institusional dan kebijakan pemerintah yang terkait dengan penelitian anda.
Rancang pengujian dengan hewan percobaan dengan baik
Bila penelitian memerlukan hewan percobaan, maka percobaan harus dirancang sebaik mungkin, tidak gegabah melakukan sembarang perlakuan pada hewan percobaan.
Mengutamakan keselamatan manusia
Bila harus menggunakan manusia sebagai penguji penelitian, maka penelitian harus dirancang dengan teliti, efek negatif harus diminimalkan, manfaat dimaksimalkan; hormati harkat kemanusiaan, privasi dan hak objek penelitian anda tersebut, siapkan pengobatan dan pencegahan bila sampel anda menderita efek negatif dari penelitian.
PENELITIAN STUDI KRITIS
Sudi Kritis adalah Kemampuan untuk berpikir jernih dan rasional, yang meliputi kemampuan untuk berpikir reflektif dan independen.
Berfikir Kritis menurut (Mertes,1991) Sebuah proses yang sadar dan sengaja yang digunakan untuk menafsirkan dan mengevaluasi informasi dan pengalaman dengan sejumlah sikap reflektif dan kemampuan yang memandu keyakinan dan tindakan
Berfikir kritis menurut (Chance,1986) Kemampuan untuk menganalisis fakta, mencetuskan dan menata gagasan, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, menarik kesimpulan, mengevaluasi argumen dan memecahkan masalah
Berfikir Kritis menurut (Scriven & Paul, 1992) Proses intelektual yang dengan aktif dan terampil mengkonseptualisasi, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi informasi yang dikumpulkan atau dihasilkan dari pengamatan, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi, untuk memandu keyakinan dan tindakan
Berpikir Kritis ≠ Menghafal, Mengumpulkan Informasi
Berpikir kritis tidak sama dengan mengakumulasi informasi. Seorang dengan daya ingat baik dan memiliki banyak fakta tidak berarti seorang pemikir kritis
Seorang pemikir kritis mampu menyimpulkan dari apa yang diketahuinya, dan mengetahui cara memanfaatkan informasi untuk memecahkan masalah, and mencari sumber-sumber informasi yang relevan untuk dirinya.
Berpikir Kritis ≠ Mengkritik, Mengecam. Mendebat
Berpikir kritis tidak sama dengan sikap argumentatif atau mengecam orang lain
Berpikir kritis bersifat netral, objektif, tidak bias. Meskipun berpikir kritis dapat digunakan untuk menunjukkan kekeliruan atau alasan-alasan yang buruk, berpikir kritis dapat memainkan peran penting dalam kerja sama menemukan alasan yang benar maupun melakukan tugas konstruktif
Pemikir kritis mampu melkukan introspeksi tentang kemungkinan bias dalam alasan yang dikemukakannya.
Keterampilan Inti Berpikir Kritis
Keterampilan Inti berfikir Kritis :
Interpretasi – kategorisasi, dekode, mengklarifikasi makna
Analisis – memeriksa gagasan, mengidentifikasi argumen, menganalisis argumen
Evaluasi – menilai klaim (pernyataan), menilai argumen
Inferensi – mempertanyakan klaim, memikirkan alternatif (misalnya, differential diagnosis), menarik kesimpulan, memecahkan masalah, mengambil keputusan
Penjelasan – menyatakan masalah, menyatakan hasil, mengemukakan kebenaran prosedur, mengemukakan argumen
Regulasi diri – meneliti diri, mengoreksi diri
Perbedaan antara Pemikir Kritis dan Bukan Pemikir Kritis
Pemikir kritis
Cepat mengidentifikasi informasi yang relevan, memisahkannya dari informasi yang irelevan
Dapat memanfaatkan informasi untuk merumuskan solusi masalah atau mengambil keputusan, dan jika perlu mencari informasi tambahan yang relevan
Bukan pemikir kritis
Mengumpulkan fakta dan informasi, memandang semua informasi sama pentingnya
Tidak melihat, menangkap, maupun memikirkan masalah inti
Mengapa Berpikir Kritis Penting, Sehingga Perlu Dipelajari
Berpikir kritis merupakan keterampilan universal. Kemampuan berpikir jernih dan rasional diperlukan pada pekerjaan apapun, ketika mempelajari bidang ilmu apapun, untuk memecahkan masalah apapun, jadi merupakan aset berharga bagi karir seorang
Berpikir kritis sangat penting di abad ke 21. Abad ke 21 merupakan era informasi dan teknologi. Seorang harus merespons perubahan dengan cepat dan efektif, sehingga memerlukan keterampilan intelektual yang fleksibel, kemampuan menganalisis informasi, dan mengintegrasikan berbagai sumber pengetahuan untuk memecahkan masalah.
Berpikir kritis meningkatkan keterampilan verbal dan analitik. Berpikir jernih dan sistematis dapat meningkatkan cara mengekspresikan gagasan, berguna dalam mempelajari cara menganalisis struktur teks dengan logis, meningkatkan kemampuan untuk memahami
Berpikir kritis meningkatkan kreativitas. Untuk menghasilkan solusi kreatif terhadap suatu masalah tidak hanya perlu gagasan baru, tetapi gagasan baru itu harus berguna dan relevan dengan tugas yang harus diselesaikan. Berpikir kritis berguna untuk mengevaluasi ide baru, memilih yang terbaik, dan memodifikasi bisa perlu
Berpikir kritis penting untuk refleksi diri. Untuk memberi struktur kehidupan sehingga hidup menjadi lebih berarti (meaningful life), maka diperlukan kemampuan untuk mencari kebenaran dan merefleksikan nilai dan keputusan diri sendiri.
Berpikir kritis merupakan meta-thinking skill, ketrampilan untuk melakukan refleksi dan evaluasi diri terhadap nilai dan keputusan yang diambil, lalu – dalam konteks membuat hidup lebih berarti - melakukan upaya sadar untuk menginternalisasi hasil refleksi itu ke dalam kehidupan sehari-hari.
Manfaat Berfikir Kritis
Membantu memperoleh pengetahuan, memperbaiki teori, memperkuat argumen
Mengemukakan dan merumuskan pertanyaan dengan jelas
Mengumpulkan, menilai, dan menafsirkan informasi dengan efektif
Membuat kesimpulan dan menemukan solusi masalah berdasarkan alasan yang kuat
Membiasakan berpikiran terbuka
Mengkomunikasikan gagasan, pendapat, dan solusi dengan jelas kepada lainnya
Berpikir Kritis dan Problem Based Learning
Tabel 1.3 Perbedaan antara model SPICES Harden dan model konvensional
Model SPICES
Model konvensional
1
Student centered
Teacher-centered
2
Problem-based
Information-gathering
3
Integrated
Discipline-based
4
Community-based
Hospital-based
5
Elective
Uniform
6
Systematic approach
Apprenticeship
Sumber: Harden et al., 2009
Tabel 1.2 Keterampilan dan sikap umum yang dihasilkan PBL
Kerjasama tim
Mengkaji kritis literatur
Memimpin kelompok
Belajar mandiri
Mendengarkan
Penggunaan sumberdaya informasi
Mencatat
Keterampilan presentasi
Menghargai pandangan kolega
Sumber: Wood, 2003
LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
Pengertian Teori
Setelah masalah penelitian dirumuskan, maka langkah kedua dalam proses penelitian adalah mencari teori-teori hasil penelitian yang dapat dijadikan sebagai landasan teoritis untuk pelaksanaan penelitian ( Sumadi Suryabrata, 1990). Landasan teori ini perlu ditegakkan agar penelitian itu mempunyai dasar yang kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba. Adanya teoritis ini merupakan ciri bahwa penelitian itu merupakan cara ilmiah untuk medapatkan data.
Setiap penelitian selalu menggunakan teori. Seperti sinyatakan oleh Neumen (2003). Teori adalah seperangkat konstruk (konsep), definisi, dan proporsi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan antara variabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramlkan fenomena.
Tinjauan pustaka
Dalam setiap makalah dan proposal penelitian tentu harus di buat secara urut dan sistematis, dimana bagian-bagian dalam setiap penyusunan harus terdapat beberapa bagian. Salah satu bagian terpenting dalam menyusun usulan makalah tersebut yaitu harus terdapat bab tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka sendiri merupakan bagian dalam penyusunan sebuah laporan penelitian maupun proposal karena dalam bab ini akan diungkap pemikiran serta teori-teori yang akan dijadikan landasan dalam melakukan sebuah eksperimen.
Tujuan tinjauan pustaka
Menemukan penjelasan yang dapat membantu menafsirkan data penelitian
Menghindari pendekatan yang steril
Mengetahui apa yang pernah di lakukan dalam penelitian yang sebelumnya
Membatasi masalah dan ruang lingkup penelitian
Kerangka Berfikir
Uma sekaran dalam bukunya Business Research (1992) mengemukakan bahwa, kerangka berfikir merupakan model konseptuan tentang bagaimana teori berhbungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Kerangka berfikir yang baik akan menjelaskan secra teoritis pertautan antara variabel yang akan diteliti.
Hipotesis
Perumusan hipotesis penelitian merupakan langkah ketiga dalam penelitian, setelah peneliti mengemukakan landasan teori dan kerangka berfikir. Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat petanyaan. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan fakta-fakta empris yang diperoleh melalui pengumpulan data.
Pengertian Variabel
Kerlinger ( 1973) menyatakan bahwa variabel adalah konstrak atau sifat yang akan dipelajari. Diberikan contoh misalnya, tingkat aspirasi, penghasilan, pendidikan, status sosial, jenis kelamin, golongan gaji, dan lain-lain. Di bagian lain Kerlinger menyatakan bahwa variabel dapat dikatakan sebagai suatu sifat yang diambil dari suatu nilai yang berbeda. Dengan demikian variabel merupakan suatu yang bervariasi.
Berdasarkan pengertian-pengetian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh penelitian untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Macam-Macam Variabel
Menurut hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain maka macam-macam variabel dalam penelitian dapat dibedakan menjadi :
Variabel Independen : variabel ini sering disebut variabel stimulus. dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel bebas. Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen( terikat ).
Variabel Dependen : sering disebut variabel output. Dalam bahasa Indonesia disebut variabel terikat. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas.
Variabel Moderator : variabel yang mempengaruhi hubungan antara variabel independen dengan dependen. Variabelini disebut juga variabel independen dua.
Variabel Intervening : variabel yang secara teoritis mempengaruhi hubungan antara variabel independen dengan dependen menjadi hubungan yang menjadi tidak langsung dan tidak dapat diamatidan diukur.
Variabel Kontrol : variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan sehingga hubungan variabel independen terhadap dependen tidak dipengaruhi oleh faktor luar yang tidak diteliti.
Populasi
Populasi adalah wilayah generelisasi yang terdiri dari atas: objek?subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh penelitia untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi.
Senin, 08 Januari 2018
Resume RPS PBI
PERTEMUAN KE 1
Pemebelajaran bahasa indonesia adalah sebuah upaya untuk mengarahkan peserta didik sehingga terampil berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia, baik itu secara lisan maupun tulisan, serta baik dalam situasi formal maupun informal.
Selain terampil berkomunikasi, peserta didik diharapkan memiliki sikap apresiatif terhadap karya sastra Bahasa Indonesia, para tokoh-tokoh kebahasaan, guru, dan sesama pelajar. Tujuan tentu saja, untuk menanamkan benih dan menumbuh kembangkan rasa nasionalisme terhadap bangsa dan negara Indonesia, yang pada akhirnya menjadikan NKRI yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pebelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995). Hal ini relevan dengan kurikulum 2004 bahwa kompetensi pebelajar bahasa diarahkan ke dalam empat subaspek, yaitu membaca, berbicara, menyimak, dan mendengarkan.
Sedangkan tujuan pembelajaran bahasa, menurut Basiran (1999) adalah keterampilan komunikasi dalam berbagai konteks komunikasi. Kemampuan yang dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai, dan mengekspresikan diri dengan berbahasa. Kesemuanya itu dikelompokkan menjadi kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan.
Sementara itu, dalam kurikulum 2004 untuk SMA dan MA, disebutkan bahwa tujuan pemelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia secara umum meliputi:
siswa menghargai dan membanggakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara.
siswa memahami Bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi,serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan.
siswa memiliki kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional,dan kematangan sosial.
siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis).
siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.
siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Untuk mencapai tujuan di atas, pembelajaran bahasa harus mengetahui prinsip-prinsip belajar bahasa yang kemudian diwujudkan dalam kegiatan pembelajarannya, serta menjadikan aspek-aspek tersebut sebagai petunjuk dalam kegiatan pembelajarannya. Prinsip-prinsip belajar bahasa dapat disarikan sebagai berikut. Pebelajar akan belajar bahasa dengan baik bila
diperlakukan sebagai individu yang memiliki kebutuhan dan minat.
diberi kesempatan berapstisipasi dalam penggunaan bahasa secara komunikatif dalam berbagai macam aktivitas.
bila ia secara sengaja memfokuskan pembelajarannya kepada bentuk, keterampilan, dan strategi untuk mendukung proses pemerolehan bahasa.
ia disebarkan dalam data sosiokultural dan pengalaman langsung dengan budaya menjadi bagian dari bahasa sasaran.
jika menyadari akan peran dan hakikat bahasa dan budaya.
jika diberi umpan balik yang tepat menyangkut kemajuan mereka.
jika diberi kesempatan untuk mengatur pembelajaran mereka sendiri
(Aminuddin, 1994).
Teori-teori Belajar Bahasa.
pengertian teori menurut Kerlinger yang dikutip Sapani (1998) adalah suatu himpunan pengertian atau konsep yang saling berkaitan yang menyajikan pandangan sistematis tentang gejala dengan jalan menetapkan hubungan yang ada diantara variabel – variabel dengan tujuan untuk menjelaskan serta meramalkan gejala – gejala tersebut.
Sedangkan pengertian teori belajar bahasa adalah teori mengenai bagaimana manusia mempelajari bahasa, dari tidak bisa berkomunikasi antar sesame manusia dengan medium bahasa menjadi berkomunikasi dengan baik. Kegunaan teori, termasuk didalamnya teori belajar bahasa yaitu
a) Menyempurnakan suatu praktik
b) Memperjelas sesuatu,membuat orang mengerti sesuatu
c) Dapat merangsang pengetahuan baru dengan jalan memberikan bimbingan ke arah penyelidikan selanjutnya.
Macam-Macam Teori.
Teori Behaviorisme.
Teori behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Berikut tokoh-tokoh teori behavioristik:
a. Edward L. Thordike
Menurut teori ini, belajar adalah pembentukan atau penguatan hubungan antara stimulus dan respon. Thorndike menekankan bahwa belajar terdiri atas pembentukan ikatan atau hubungan-hubungan antara stimulus-respons yang terbentuk melalui pengulangan. Teori ini dimunculkan sebagai hasil eksperimen yang dilakukan oleh thorndike. Beliau melakukan percobaan pada seekor kucing muda. Kucing itu dibiarkan kelaparan dalam kurungan yang pintunya berjeruji. Kurungan kucing itu diberi beberapa tombol. Apabila salah satu tombolnya terpijit, pintu itu akan terbuka dengan sendirinya. Sementara itu, di luar kurungan disediakan makanan yang diletakkan dalam sebuah piring. Kucing mulai beraksi. Ia bergerak kesana kemari dan mencoba untuk keluar dari kurungan. Tidak beberapa lama tanpa disengaja kucing tersebut menyentuh tombol pembuka pintu. Dengan girang, ia keluar dari kurungan dan menuju tempat makanan tersebut.
Thorndike mencoba beberapa kali hal yang sama pada kucing tersebut. Pada awal percobaan kucing tersebut masih mondar-mandir hingga menyentuh tombol. Namun setelah sekian lama percobaan kucing tersebut tidak mondar-mandir lagi, ia langsung menyentuh tombol pembuka pintu. Dengan demikian thorndike menyimpulkan bahwa proses belajar melalui dua bentuk, yaitu:
1) trial and error , mengandung arti bahwa dengan terlatihnya proses belajar dari kesalahan, dan mencoba terus sampai berhasil.
2) law of effect, mengandung arti bahwa segala tingkah laku yang mengakibatkan suatu keadaan yang memuaskan akan terus diingat dan dipelajari dengan sebaik-baiknya.
b. Ivan Petrovitch Pavlov
Teori pavlov lebih dikenal dengan pembiasaan klasik (classical conditioning). Teori ini dimunculkan sebagai hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov, seorang ilmuwan rusia. Teori classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut. Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing dengan tujuan mengkaji bagaimana pembelajaran berlaku pada suatu organisme.
Teori ini dilatarbelakangi oleh percobaan Pavlov dengan keluarnya air liur. Air liur akan keluar apabila anjing melihat atau mencium bau makanan. Dalam percobaanya Pavlov membunyikan bel sebelum memperlihatkan makanan pada anjing. Setelah diulang berkali- kali ternyata air liur tetap keluar bila bel berbunyi meskipun makananya tidak ada. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku individu dapat dikondisikan. Belajar merupakan suatu upaya untuk mengondisikan pembentukan suatu perilaku atau respons terhadap sesuatu. Kebiasaan makan atau mandi pada jam tertentu, kebiasaan berpakaian, masuk kantor, kebiasaan belajar, bekerja dll. Terbentuk karena pengkondisian.
c. Burrhus Frederic Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif.
Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku.
Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya
Teori Nativisme.
Nativisme merupakan kata dasar dari bahasa Latin, “natus” yang artinya lahir atau “nativus” yang mempunyai arti kelahiran (pembawaan). Nativisme merupakan sebuah doktrin yang berpengaruh besar terhadap teori pemikiran psikologis. Teori nativisme ini dipelopori oleh Arthur Schopenhauer (1788-1860), seorang filosof Jerman ini mengemukakan bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir (faktor pembawaan) baik karena berasal dari keturunan orang tuanya, nenek moyangnya maupun karena memang ditakdirkan demikian.
Pembawaan itulah yang menentukan hasil perkembangannya. Manakala pembawaannya itu baik, baik pula anak itu kelak. Begitu pula sebaliknya, andaikata anak itu berpembawaan buruk, buruk pula pada masa pendewasaannya.
Potensi-potensi yang dimiliki seseorang adalah potensi hereditas (bawaan) bukan potensi pendidikan. Pendidikan dan sama sekali tidak berpengaruh terhadap perkembangan manusia. Teori ini juga termasuk dalam filsafat idealisme yang mengemukakan bahwa perkembangan seorang hanya ditentukan oleh keturunan yaitu faktor alam yang bersifat kodrati.
Menurut nativisme, pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan. Pendidikan dan lingkungan tidak berpengaruh sama sekali dan tidak berkuasa dalam perkembangan seorang anak. Dalam ilmu pendidikan teori nativisme ini dikenal sebagai pandangan pesemisme paedagogis. Teori ini disebut pula dengan Biologisme, karena mementingkan kehidupan individu saja, tanpa memperhatikan pengaruh-pengaruh dari luar. Perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh:
Faktor genetik (keturunan)
Faktor Kemampuan (bakat)
Faktor Pertumbuhan
Teori Empirisme
Nama asli teori ini adalah “The school of British Empiricism” (teori empirisme Inggris). Pelopor teo ri ini adalah John Locke (1632-1704). teori ini mengemukakan bahwa manusia dilahirkan seperti kertas kosong (putih) yang belum ditulis (teori tabularasa). Jadi sejak dilahirkan anak itu tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa dan anak dibentuk sekehendak pendidiknya. Disini kekuatan apa pada pendidik, pendidikan dan lingkungannya yang berkuasa atas pembentukan anak.
Teori empirisme ini merupakan kebalikan dari teori nativisme karena menganggap bahwa potensi atau pembawaan yang dimiliki seseorang itu sama sekali tidak ada pengaruhnya dalam upaya pendidikan. Semuanya ditentukan oleh faktor lingkungan yaitu pendidikan. Teori ini disebut juga dengan Sosiologisme, karena sepenuhnya mementingkan atau menekankan pengaruh dari luar. Dalam ilmu pendidikan teori ini dikenal sebagai pandangan optimisme paedagogis.
Teori Konvergensi.
Teori ini pada intinya merupakan perpaduan antara pandangan nativisme dan empirisme, yang keduanya dipandang sangat berat sebelah. Tokoh utama teori konvergensi adalah Louis William Stern (1871-1938), seorang filosof sekaligus sebagai psikolog Jerman.
Teori ini menggabungkan arti penting hereditas (pembawaan) dengan lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh dalam perkembangan manusia. Faktor pembawaan tidak berarti apa-apa tanpa faktor pengalaman (lingkungan). Demikian pula sebaliknya, faktor pengalaman tanpa faktor pembawaan tidak akan mampu mengembangkan manusia yang sesuai dengan harapan.
Perkembangan yang sehat akan berkembang jika kombinsai dari fasilitas yang diberikan oleh lingkungan dan potensialitas kodrati seseorang bisa mendorong berfungsinya segenap kemampuannya. Dan kondisi sosial menjadi sangat tidak sehat apabila segala pengaruh lingkungan merusak, bahkan melumpuhkan potensi psiko-fisiknya.
Dengan demikian, keadaan ini dapat dinyatakan bahwa faktor pembawaan maupun pengaruh lingkungan yang berdiri sendiri tidak dapat menentukan secara mutlak dan bukan satu-satunya faktor yang menentukan pribadi atau struktur kejiwaan seseorang.
Tujuan Teori Nativisme, Empirisme dan konvergensi dalam proses pembelajaran
Tujuan teori Nativisme, yaitu:
Mampu memunculkan bakat yang dimiliki
Mendorong seseorang mewujudkan diri yang berkompetensi
Mendorong seseorang dalam menetukan pilihan
Mendorong seseorang untuk mengembangkan potensi dari dalam dirinya
Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki
Tujuan teori Empirisme, yaitu:
Sebagai faktor penentu bagi perkembangan seseorang yang bersumber dari berbagai sistem pendidikan.
Mendorong seseorang dalam penguasaan terhadap bidang pengetahuan,
Agar pendidikan seseorang menjadi relevan dan paling efektif yangberorientasi pada pemberdayaan pendidikan dan pengalaman anak-didik itu sendiri.
Sedangkan tujuan teori belajar konvergensi adalah gabungan antara tujuan teori nativisme dan tujuan dari teori empirisme.
Aplikasi dalam kehidupan.
Berdasarkan teori nativisme, untuk mendukung teori tersebut di era sekarang banyak dibuka pelatiahan dan kursus untuk pengembangan bakat sehingga bakat yang dibawa sejak lahir itu dilatih dan dikembangkan agar setiap individu manusia mampu mengolah potensi diri. Sehingga potensi yang ada dalam diri manusia tidak sia-sia kerena tidak dikembangkan, dilatih dan dimunculkan.
Sedangkan yang terjadi dari realisasi paradigma empirisme, salah satunya adalah munculnya reduksi terus-terusan atau bahkan penghilangan dimensi dan peranan internal dalam proses pendidikan. Berpijak dari pandangan bahwa faktor ekstern manusia, merupakan faktor penentu, maka upaya yang dilaksanakan akan terus-terusan berorientasi pada pemberdayaan aspek luar diri manusia itu sendiri. Reduksi dan bahkan penghilangan dimensi dan peranan internal manusia, justru akan mendorong dan mengarahkan manusia yang menjadi anak-didik ke arah “sekularisasi”kehidupan dari aspek-aspek rohani, terutama naluri keagamaan.
Dari bermacam-macam istilah teori perkembangan seperti tersebut di atas, teori konvergensi merupakan teori yang dapat diterima oleh para ahli pada umumnya. Sehingga teori ini merupakan salah satu hukum perkembangan individu di samping adanya hukum-hukum perkembangan yang lain.
Jadi, baik faktor pembawaan (gen) dan lingkungan itu diperlukan bagi seseorang meski hanya sekedar ada di dunia. Faktor bawaan dan lingkungan bekerja sama untuk menghasilkan kecerdasan temperamen, tinggi badan, berat badan, kecakapan membaca, dan sebagainya. Tanpa gen, tidak akan ada perkembangan, tanpa lingkungan tidak ada pula perkembangan karena pengaruh lingkungan tergantung pada karakteristik genetik bawaan, jadi dapat kita katakan bahwa ke-2 faktor di atas saling berinteraksi
Teori Mentalisme.
Teori ini dimotori oleh Noam Chomsky (1959) dengan membahas dan menyerang pendapat skinner. Berikut ini beberapa catatan mengenai teori pembelajaran dan pemerolehan bahasa menurut teori mentalis.
1. Bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia.
2. Perilaku bahasa adalah sesuatu yang diturunkan.
3. Pemerolehan bahasa berlangsung secara alami.
4. Pola perkembangan bahasa sama pada berbagai macam bahasa dan budaya. Lingkungan hanya memiliki peran kecil dalam pemerolehan bahasa.
5. Anak (setiap orang) sudah dibekali apa yang disebut piranti penguasaan bahasa ‘Language Acquisition Device (LAD)’ sebagai bawaan dari lahir yang antara lain meliputi:
Kemampuan membedakan bunyi bahasa dengan bahasa-bahasa lain.
Kemampuan menyusun bahasa menjadi sistem struktur.
Pengetahuan yang mungkin dan tidak mungkin diterima dalam sistem linguistik.
6. Aliran mentalis tidak setuju menyamakan proses belajar pada manusia dengan yang terjadi pada binatang. Manusia memiliki akal dan pikiran yang kompleks. Binatang mempuyai naluri.
7. Belajar bahasa tidak hanya sekedar latihan-latihan mekanis seperti yang ditonjolkan teori behavioris, melainkan lebih kompleks dari itu.
8. Ada beberapa teori yang tergolong aliran mentalis ini, misalnya:
Teori Tatabahasa Universal
Teori Monitor
Teori Kognitif.
Seperti sudah dikemukakan bahwa teori behavioris dan teori mentalis merupakan dua teori belajar bahasa yang dalam banyak han bertentangan sehingga membentuk dua kubu tempat berhimpun masing-masing pengikutnya. Dalam situasi seperti ini biasanya selalu muncul teori-teori lain yang mencoba menjembatani atau mencari jalan tengah.
Teori Kognitivisme.
Berbeda dengan teori belajar behavioristik. Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajarnya. Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Tidak seperti model belajar behavioristik yang mempelajari proses belajar hanya sebagai stimulus-respon, model belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model perseptual. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan presepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak.
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi yang saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut . Memisah-misahkan atau membagi situasi/materi elajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berfikir secara kompleks. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaiakannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pemahaman-pemahaman sebelumnya. Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan seperti : “Tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J. Piaget, Advance organizer oleh Ausubel, Pemahaman onsep oleh Bruner, Hirarki belajar oleh Gagne, Webteaching oleh Norman, dan sebagainya. Berikut diuraikan lebih rinci beberapa pandangan mereka
Teori Huamnisme.
Humanisme berasal dari latin, humanis; manusia, dan isme berarti paham atau aliran. Humanisme merupakan istilah yang sering digunakan pada kalangan massyarakat Indonesia sebagai suatu kata yang mengungkapkan tentang sesuatu yang berhubungan dengan manusia. adapun arti humanisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau yang seing di sebut KBBI yaitu aliran yg bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yg lebih baik.
Semula humanisme adalah gerakan dengan tujuan untuk mempromosikan harkat dan martabat manusia. Sebagai pemikiran etis yang menjunjung tinggi manusia. Humanisme menekankan harkat, peran, tanggugjawab menurut manusia. Menurut humanisme manusia mempuyai kedudukan yang istimewa dan berkemampuan lebih dari mahluk lainya karena mempunyai rohani. Pandangan humanisme membuat manusia sadar kembali tentang harkat dan martabat manusia sebagai mahluk rohani. Etika rohani mendasari manusia untuk bertangungjawab dalam kehidupan di dunia.
Adapun humanisme itu sendiri sangatlah berkaitan dengan kegiatan kehidupan masyarakat yang berkaitan eperti humanisme terkait pendidikan pembelajaran kepada para siswa, humanisme terkait keagamaan, hingga humanisme universal yang mencakup Satu Dunia, Satu Bangsa, Bangsa Manusia yang lahir di alam bumi ini sehingga, banyak yang menghubungkan antara humanisme dengan masalah masalah serta isu yang berhubungan dengan manusia.
Contohnya saja pada pendidikan pembelajaran, guru merupakan salah satu komponenen terpenting yang ada dalam system pembelajaran di sekolah karena apabila tidak ada guru proses pembelajaran tidak akan berjalan. Selain guru murid juga termasuk salah satu komponen penting karena, apa gunanya guru apabila tidak adanya murid untuk dididik sehingga dalam proses pembelajaran membutuhkan suatu hak dan kewajiban tentang kemanusian yang ada.
Teori Fungsionalisem.
Teori fungsionalisme adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiranstructural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.
Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut denganrequisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut.
Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.
Durkheim berpikir bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat, suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Teori fungsionalisme yang menekankan kepada keteraturan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain, dengan kata lain masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada, fungsional bagi sistem sosial itu. Demikian pula semua institusi yang ada diperlukan oleh sistem sosial itu, bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat dilihat dari kondisi dinamika dalam keseimbangan. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya jika tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Dalam bukunya "Pembagian Kerja dalam Masyarakat", Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat 'mekanis' dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, menurut Durkheim kesadaran kolektifsepenuhnya mencakup kesadaran individual, norma-norma sosial kuat dan perilaku sosialdiatur dengan rapi. Sedangkan dalam masyarakat modern, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang 'mekanis', misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swasembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu seperti bahan makanan, pakaian, dll untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat daripembagian kerja yang semakin rumit ini. Menurut Durkheim bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif. Seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Mengutamakan keseimbangan, dengan kata lain teori ini memandang bahwa semua peristiwa dan struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dimana jika sekelompok masyarakat ingin memajukan kelompoknya, mereka akan melihat apa yang akan d kembangkan dan tetap mempertahankan bahkan melestarikan tradisi-tradisi dan budaya yang sudah berkembang dan menjadikannya sebagai alat modernisasi.
Namun dalam hal ini penganut teori fungsional seringkali mengabaikan variabel konflik dan perubahan sosial dalam analisa mereka, akibatnya mereka seringkali di cap sebagai kelompok konservatif karena terlalu menekankan kepada keteratuan dalam masyarakat dan mengabaikan variabel konflik dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Dalam masyarakat yang beragam kebudayaan akan sangat mudah terjadi konflik, namun teori fungsional akan menjadi garis tengah untuk menjadikan sebuah perbedaan menjadi alat untuk bersatu
Teori Konstruktivisme
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan dapat diartikan Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Dengan teori konstruktivisme siswa dapat berfikir untuk menyelesaikan masalah, mencari idea dan membuat keputusan. Siswa akan lebih paham karena mereka terlibat langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih pahamdan mampu mengapliklasikannya dalam semua situasi. Selian itu siswa terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep.
PERTEMUAN KE 2
2.2 Pengertian Pendekatan Pembelajaran.
Pendekatan pembelajaran merupakan persiapan atau langkah awal dari proses pembelajaran agar tercapai kompetensi yang telah diharapkan. Seorang guru akan menggunakan pendekatan pembelajaran sebagai cara umum dalam memandang permasalahan maupun objek kajian, baik itu yang berpusat pada siswa maupun yang berpusat pada guru. Selanjutnya, berdasarkan pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan tersebut, guru menurunkannya ke dalam strategi pembelajaran dengan menggunakan langkah-langkah yang sistematik dan sistemik.
cara pandang atau titik tolak pendidik yang digunakan untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran dan tercapainya kompetensi yang ditentukan. Secara umum, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered approach).
Jenis – jenis pendektan pembelajaran.
Terdapat beberapa jenis pendekatan pembelajaran yaitu:
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning).
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) atau biasa disingkat CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar.
Johnson (dalam Nurhadi, 2004:13-14) mengungkapakan bahwa karakteristik pendekatan kontekstual memiliki delapan komponen utama yaitu:
a. Memiliki hubungan yang bermakna
b. Melakukan kegiatan yang signifikan
c. Belajar yang diatur sendiri
d. Bekerja sama
e. Berfikir kritis dan kreatif
f. Mengasuh dan memelihara pribadi peserta didik
g. Mencapai standar yang tinggi
h. Menggunakan penilaian autentik.
Penerapan Pendekatan Kontekstual di Kelas
Langkah-langkah penerapan kontekstual di kelas yaitu sebagai berikut:
Mengembangkan pemikiran bahwa peserta didik akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan bertanya (komponen konstruktivisme)
Melaksanakan kegiatan menemukan sendiri untuk mencapai kompetensi yang diinginkan (komponen inkuiri)
Mengembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan bertanya (komponen bertanya)
Menciptakan masyarakat belajar, kerja kelompok (komponen masyarakat belajar)
Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran (komponen pemodelan)
Melakukan refleksi di akhir pertemuan, agar peserta didik merasa bahwa hari ini mereka belajar sesuatu (komponen refleksi)
Melakukan penilaian yang autentik dari berbagai sumber dan cara (komponen asesmen autentik)
Tematis.
Pendekatan tematik merupakan suatu strategi yang melibatkan beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada pebelajar (Ariantani, 2003). Keterpaduan dapat dilihat dari segi proses, waktu, segi kurikulum, dan segi aspek belajar-mengajar. Menurut Puskur (2002) pembelajaran tematik hanya diajarkan pada siswa sekolah dasar kelas rendah (kelas I dan II), karena pada umumnya mereka masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holostik), perkembangan fisiknya tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan mental, sosial, dan emosional. Untuk itu, strategi pembelajaran tematik hendaknya, (1) bersahabat, menyenangkan, tetapi tetap bermakna bagi anak, (2) dalam menanamkan konsep atau pengetahuan dan keterampilan, anak tidak harus didrill, tetapi ia belajar melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah dipahami. Bentuk pembelajaran ini dikenal dengan pembelajaran terpadu, dan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan siswa. Sesuai dengan perkembangan fisik dan mental siswa kelas I dan II, pembelajaran pada tahap ini menurut Ariantini (2003:1) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
Berpusat pada siswa
Memberikan pengalaman langsung pada anak
Pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelas
Menyajikan konsep dari beberapa mata pelajaran
Bersifat fleksibel
Hasil belajar dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa
Disamping itu, pembelajaran tematis memiliki beberapa kekuatan yakni :
Pengalaman dan kegiatan belajar yang relevan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak
Menyenangkan karena bertolak dari minat dan kebutuhan anak
Hasil belajar akan bertahan lebih lama karena lebih terkesan dan bermakna
Mengembangkan berpikir anak sesuai dengan permasalahan yang dihadapi
Menumbuhkan keterampilan sosial dalam bekerja sama, toleransi, komunikasi, dan tangap terhadap gagasan.
Sedangkan peran tema dalam pembelajaran tematik menurut Puskur (2001;23), yakni:
Siswa mudah memusatkan perhatian pada satu tema atau topik tertentu
Siswa dapat mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi mata pelajaran dalam tema yang sama
Pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan
Kompetensi berbahasa bisa dikembangkan lebih baik dengan mengaitkan mata pelajaran lain dengan pengalaman pribadi anak
Siswa lebih bergairah belajar karena mereka bisa berkomunikasi dalam situasi yang nyata, misalnya bertanya, bercerita, menulis deskripsi, menulis surat untuk mengembangkan keterampilan berbahasa, sekaligus untuk mempelajari mata pelajaran lain
Guru dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara terpadu dapat dipersiapkan sekaligus dan diberikan 2 atau 3 kali pertemuan. Waktu selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remidial, pemantapan atau pengayaan.
Intergratif Atau Terpadu.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia dikelas-kelas rendah, keterampilan tersebut dapat diwujudkan sebagai berikut :
Ketika guru mengajarkan menulis kalimat atau kata-kata, sekaligus guru mengajarkan bagaimana melafalkannya (mengucapkannya) dengan tepat. Dalam hal ini guru mengkaitkan kegiatan membaca dan pemahaman tentang lafal atau ucapan yang tercakup dalam tata bunyi.
Ketika guru mengajarkan menulis kalimat atau kata-kata, guru sekaligus juga mengajarkan bagaimana membacanya, melafalkannya, dan bagaimana ejaannya. dalam hal ini, kecuali guru mengaitkan membaca dan lafal, guru juga mengaitkannya dengan fonem, walaupun istilah tersebut tidak dinyatakan kepada siswa . Hal ini dilihat misalnya pada waktu siswa harus menuliskan kata-kata seperti, mama, mana, mata, yang maknanya berbeda-beda karena perbedaan pada /m/n/,dan /t/.
Pada waktu guru mengajarkan membaca kalimat, guru sekaligus mengajarkan bagaimana intonasinya, pelafalannya, tanda baca yang ada dalam bacaan. dan bagaimana membaca kalimat itu dengan memperhatikan tanda-tanda baca yang digunakan. Disamping itu, guru berkesempatan menambah kosa kata siswa dan pada waktu guru memberikan contoh membaca atau salah seorang siswa membaca, tentu saja siswa yang lain harus menyimak.
Pada saat guru mengajarkan menulis kalimat, guru sekaligus mengajarkan ejaan bagaimana cara menggunakan tanda baca dalam kalimat., seperti titik, koma, dan tanda tanya. Disamping itu, siswa juga diminta membaca kalimat-kalimat yang telah mereka buat, siswa yang sedang tidak membaca akan mendengarkan dengan baik atau menyimak. Jika demikian telah ada pemaduan antara menulis, membaca dan menyimak tetapi dalam hal ini tekanannya pada keterampilan menulis.
Pada waktu guru mengajarkan keterampilan berbicara sekaligus guru mengajarkan intonasi, lafal, dan menyimak. Mungkin setelah salah satu siswa bercerita, siswa yang lain diminta mengemukakan isi cerita itu secara singkat. Dengan demikian, pada waktu salah seorang siswa bercerita, temannya benar-benar menyimak.
Keterampilan menyimak dapat dipadukan dengan keterampilan berbicara maupun keterampilan menulis. Pada pembelajaran menyimak ini, dapat juga guru sengaja menggunakan atau menyelipkan kata-kata baru bagi siswa, sehingga menambah pembendaharaan kata mereka. Jika demikian, berarti guru telah memadukan menyimak, berbicara, menulis dan pembendaharaan kosa kata siswa.
Pada waktu guru mengajarkan kata-kata baru, guru harus selalu ingat bahwa kata-kata tersebut harus masuk dalam kalimat atau dalam bacaan (di dalam konteks). Jadi dalam hal ini, guru mengajarkan kata baru sekaligus mengajarkan bagaimana penggunaannya didalam kalimat. Dalam hal ini ada pemaduan antara kosa kata keterampilan berbahasa dan struktur.
Pemaduan dengan bidang-bidang studi lain seperti IPA, IPS, dan matematika dilakukan melalui penyajian tema dan materi berkaitan dengan bidang studi tersebut. Di kelas-kelas yang lebih tinggi, pembelajaran aspek-aspek keterampilan berbahasa diberikan secara terpadu. Misalnya:
a. Menyimak dan berbicara.
Contoh :
Guru menceritakan sebuah peristiwa, siswa menyimak cerita tersebut. Setelah selesai, siswa diberi waktu sejenak dan kemudian seorang siswa diminta menceritakan kembali isi cerita tersebut dengan bahasa (kalimat-kalimat) siswa sendiri secara singkat.
Dalam hal ini, yang diutamakan adalah kemampuan siswa memahami apa yang mereka simak dan kemampuan mengemukakan pikirannya. Karena yang mendapat kesempatan berbicara hanya beberapa siswa, yang lain diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya mengenai dialog yang dilakukan oleh teman-temannya yang mendapat kesempatan di depan kelas. Dengan cara-cara tersebut, guru memadukan, menyimak dan berbicara.
b. Menyimak dan menulis
Guru membacakan dan memperdengarkan rekaman drama atau sebuah cerpen, kemudian siswa menyimak. Beberapa drama/cerpen itu dibaca/diperdengarkan, tergantung pada tingkat kesukaran drama/cerpen tersebut. Setelah selesai, siswa diberi waktu untuk menanyakan yang tidak mereka mengerti. Sesudah itu mereka diberikan waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan guru tentang drama/ cerpen itu., atau diminta menuliskan isi cerpen/drama secara ringkas dengan kalimat mereka sendiri.
Dapat juga diminta siswa mendengarkan radio atau televisi pada acara tertentu, dan diminta membuat laporan hasil simakannya secara tertulis. Dalam hal ini guru harus jeli, memiliki acara- acara yang memungkinkan dilaksanakannya tugas tersebut oleh siswa. Dengan cara-cara diatas guru memadukan pelajaran menyimak dan menulis. Cara yang lain masih cukup banyak.
c. Membaca dan menyimak
Contoh :
Siswa diberi tugas membacakan suatu wacana. Dalam hal ini ketentuan-ketentuan membaca untuk orang lain harus dipahami oleh siswa. Siswa yang lain menyimak. Setelah itu siswa diberikan waktu untuk berfikir, kemudian tugas selanjutnya, mungkin siswa diminta untuk menceritakan isi yang disimak secara lisan atau mungkin tertulis. dalam hal ini, agar yang mendapat giliran membaca tidak sedikit, naskah yang dibaca sebaiknya naskah-naskah yang pendek, seperti informasi singkat, perintah,dan sebaginya. Dengan cara-cara diatas guru memadukan membaca dengan menyimak.
d. Membaca dan menulis
Contoh :
Guru memberikan tugas kepada siswa untuk membaca cerita dan tulisan-tulisan yang lain diluar kelas, dan meminta kepada mereka untuk menuliskan ringkasan hasil bacaan masing-masing. Setelah mereka menuliskan hasil ringkasannya tersebut , guru dapat meminta kepada siswa untuk mengumpulkan saja hasil mereka, atau dapat juga sebelum mereka mengumpulkan , beberapa siswa diberi giliran untuk membacakan atau mengemukakan hasil mereka masing-masing. Dengan cara seperti itu terjadi pemaduan antara membaca, menulis dan berbicara.
e. Menulis dan bercerita
Contoh :
Guru memberikan tugas kepada siswa untuk membuat karangan di luar kelas. Pada waktu yang telah ditentukan, siswa menceritakan isi karangannya, sebelum karangan itu dikumpulkan. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil.masing-masing kelompok beranggotakan tiga atau empat orang. Tiap kelompok diberi tugas merencanakan dan menuliskan sebuah adegan yang dapat diperankan. Pada jam yang telah disepakati bersama, sebelum naskah diserahkan kepada guru, tiap kelompok diminta memperagakan apa yang telah mereka rencanakan dan mereka tulis itu.
Konstrutivisme.
Kontruktivisme merupakan landasan berfikir pendekatan kontekstual. Yaitu bahwa pendekatan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba(Suwarna,2005).
Piaget (1970), Brunner dan Brand 1966), Dewey (1938) dan Ausubel (1963). Menurut Caprio (1994), McBrien Brandt (1997), dan Nik Aziz (1999) kelebihan teori konstruktivisme ialah pelajar berpeluang membina pengetahuan secara aktif melalui proses saling pengaruh antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.Pembelajaran terdahulu dikaitkan dengan pembelajaran terbaru. Perkaitan ini dibina sendiri oleh pelajar.
Menurut teori konstruktivisme, konsep-konsep yang dibina pada struktur kognitif seorang akan berkembang dan berubah apabila ia mendapat pengetahuan atau pengalaman baru. Rumelhart dan Norman (1978) menjelaskan seseorang akan dapat membina konsep dalam struktur kognitifnya dengan menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sedia ada padanya dan proses ini dikenali sebagai accretion. Selain itu, konsep-konsep yang ada pada seseorang boleh berubah selaras dengan pengalaman baru yang dialaminya dan ini dikenali sebagai penalaan atau tuning.Seseorang juga boleh membina konsep-konsep dalam struktur kognitifnya dengan menggunakan analogi, iaitu berdasarkan pengetahuan yang ada padanya. Menurut Gagne, Yekovich, dan Yekovich (1993) konsep baru juga boleh dibina dengan menggabungkan konsep-konsep yang sedia ada pada seseorang dan ini dikenali sebagai parcing.
Pendekatan konstruktivisme sangat penting dalam proses pembelajaran kerana belajar digalakkan membina konsep sendiri dengan menghubungkaitkan perkara yang dipelajari dengan pengetahuan yang sedia ada pada mereka. Dalam proses ini, pelajar dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang sesuatu perkara.
Kajian Sharan dan Sachar (1992, disebut dalam Sushkin, 1999) membuktikan kumpulan pelajar yang diajar menggunakan pendekatan konstruktivisme telah mendapat pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan berbanding kumpulan pelajar yang diajar menggunakan pendekatan tradisional. Kajian Caprio (1994), Nor Aini (2002), Van Drie dan Van Boxtel (2003), Curtis (1998), dan Lieu (1997) turut membuktikan bahawa pendekatan konstruktivisme dapat membantu pelajar untuk mendapatkan pemahaman dan pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan.
Proses.
Pada pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhipotesa, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984. Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung siswa dalam kegiatan belajar.
Dalam pendekatan proses, ada dua hal mendasar yang harus selalu dipegang pada setiap proses yang berlangsung dalam pendidikan. Pertama, proses mengalami. Pendidikan harus sungguh menjadi suatu pengalaman pribadi bagi peserta didik. Dengan proses mengalami, maka pendidikan akan menjadi bagian integral dari diri peserta didik; bukan lagi potongan-potongan pengalaman yang disodorkan untuk diterima, yang sebenarnya bukan miliknya sendiri.
Dengan demikian, pendidikan mengejawantah dalam diri peserta didik dalam
setiap proses pendidikan yang dialaminya.
Whole language atau keseluruhan bahasa.
Whole language adalah satu pendekatan pengajaran bahasa yang menyajikan pengajaran bahasa secara utuh, tidak terpisah-pisah (Edelsky, 1991; Froese,1990; Goodman,1986; Weaver,1992). Whole language adalah cara untuk menyatukan pandangan tentang bahasa, tentang pembelajaran, dan tentang orang-orang yang terlibat dalam pembelajaran. Whole language dimulai dengan menumbuhkan lingkungan dimana bahasa diajarkan secara utuh dan keterampilan bahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) diajarkan secara terpadu.
Menurut Routman (1991) dan Froese (1991) ada delapan komponen:
1. Reading Aloud
Reading aloud adalah kegiatan membaca yang dilakukan oleh guru untuk siswanya. Manfaat yang didapat dari reading aloud antara lain meningkatkan keterampilan menyimak, memperkaya kosakata, membantu meningkatkan membaca pemahaman, dan menumbuhkan minat baca pada siswa.
2. Jurnal Writing
Melalui menulis jurnal, siswa dilatih untuk lancar mencurahkan gagasan dan menceritakan kejadian di sekitarnya, menggunakan bahasa dalam bentuk tulisan. Banyak manfaat yang diperoleh dari menulis jurnal antara lain:
a. Meningkatkan kemampuan menulis
b. Meningkatkan kemampuan membaca
c. Menumbuhkan keberanian menghadap risiko
d. Memberi kesempatan untuk membuat refleksi
e. Memvalidasi pengalaman dan perasaan pribadi
f. Memberikan tempat yang aman dan rahasia untuk menulis
g. Meningkatkan kemampuan berpikir
h. Meningkatkan kesadaran akan peraturan menulis
i. Menjadi alat evaluasi
j. Menjadi dokumen tertulis
3. Sustained Silent Reading
Sustained Silent Reading adalah kegiatan membaca dalam hati yang dilakukan siswa. Siswa dibiarkan untuk memilih bacaan yang sesuai dengan kemampuannya sehingga mereka dapat menyelesaikan bacaan tersebut. Oleh karena itu, guru sedapat mungkin menyediakan bahan bacaan yang menarik dari berbagai buku atau sumber sehingga memungkinkan siswa memilih materi bacaan. Pesan yang ingin disampaikan kepada siswa melalui kegiatan ini adalah:
a. Membaca adalah kegiatan penting yang menyenangkan
b. Membaca dapat dilakukan oleh siapapun
c. Membaca berarti kita berkomunikasi dengan pengarang buku tersebut
d. Siswa dapat membaca dan berkonsentrasi pada bacaannya dalam waktu yang cukup lama
e. Guru percaya bahwa siswa memahami apa yang mereka baca
f. Siswa dapat berbagi pengetahuan yang menarik dari materi yang dibacanya setelah kegiatan SSR berakhir
4. Shared Reading
Shared Reading adalah kegiatan membaca bersama antara guru dan siswa, dimana setiap orang mempunyai buku yang sedang dibacanya.
Ada beberapa cara melakukan kegiatan ini:
a. Guru membaca dan siswa mengikutinya (untuk kelas rendah)
b. Guru membaca dan siswa menyimak sambil melihat bacaan yang tertera pada buku
c. Siswa membaca bergiliran
Maksud kegiatan ini adalah:
a. Sambil melihat tulisan, siswa berkesempatan untuk memperhatikan guru membaca sebagai model
b. Memberikan kesempatan untuk memperlihatkan keterampilan membacanya
c. Siswa yang masih kurang terampil dalam membaca mendapat contoh membaca yang benar
5. Guided Reading
Guided reading disebut juga membaca terbimbing, guru menjadi pengamat dan fasilitator. Dalam membaca terbimbing penekanannya bukan dalam cara membaca itu sendiri, tetapi lebih pada membaca pemahaman. Dalam guided reading semua siswa membaca dan mendiskusikan buku yang sama.
6. Guided Writing
Guided Writing atau menulis terbimbing, peran guru adalah sebagai fasilitator, membantu siswa menemukan apa yang ingin ditulisnya dan bagaimana menulisnya dengan jelas, sistematis, dan menarik.
7. Independent Reading
Independent Reading atau membaca bebas adalah kegiatan membaca, dimana siswa berkesempatan untuk menentukan sendiri materi yang ingin dibacanya. Membaca bebas
merupakan bagian integral dari whole language. Dalam independent reading, siswa bertanggung jawab terhadap bacaan yang dipilihnya sehingga peran guru pun berubah dari seorang pemrakarsa, model, dan pemberi tuntunan menjadi seorang pengamat, fasilitator, dam pemberi respons.
8. Independent Writing
Independent Writing atau menulis bebas bertujuan untuk meningkatkan kemampuan menulis, kebiasaan menulis, dan kemampuan berpikir kritis. Jenis menulis yang termasuk independent writing antara lain menulis jurnal dan menulis respons.
Balance literacy atau keseimabangan literasi.
Pendekatan Balance Literacy merupakan konsep pembelajaran yang memadukan pendekatan phonic dan whole language yang saling bertentangan untuk penerapan pembelajaran terbaik dalam pengembangan kemampuan membaca dan menulis. Pendekatan phonicmenekankan pembelajaran pada ketepatan dan keakuratan dalam membaca kata. Anak diperkenalkan dengan aturan-aturan fonetis dan fonemis atau cara mengeja dan menuliskan huruf/kata (keterampilan analisis phonic). Siswa diajari memahami hubungan antara huruf-bunyi pada kata, meliputi bunyi vokal, konsonan, diftong, dan konsonan ganda. Misalnya anak perlu memahami ucapan bunyi vokal dan variasi kata. Huruf e : berbunyi “e”dalam kata sate, berbunyi dalam kata benda, berbunyi pada kata enak. Huruf ng dibaca “eng”, ny = “eny”. Huruf b pada kata bapak= “b” diucapkan berbeda dengan huruf b pada kata sabtu = “p”. Setelah siswa memahami hubungan bunyi-huruf tersebut selanjutnya menerapkannya dalam kata/kalimat/teks yang dikenal. Tujuan pendekatan ini adalah agar anak menyadari fonik melalui menghubungkan bunyi-huruf dan dapat membunyikan huruf pada kata/ka-limat/teks yang dihadapinya, menganalisis dan menggabungkannya secara tepat dan akurat.
2.1 Pembelajaran Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa memegang peranan yang sangat penting dalam menjaga keutuhan dan rasa persatuan warga negara Indonesia. Bahasa Indonesia berperan sebagai perekat kebersamaan untuk menyamarkan titik-titik perbedaan pada bangsa yang majemuk ini. Oleh karena itulah, pembelajaran Bahasa Indonesia sangatlah penting untuk membentuk generasi penerus bangsa yang bersatu dan berdaulat. Berikut adalah penjabaran singkat mengenai hakikat pembelajaran Bahasa IndonesiaPemebelajaran bahasa indonesia adalah sebuah upaya untuk mengarahkan peserta didik sehingga terampil berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia, baik itu secara lisan maupun tulisan, serta baik dalam situasi formal maupun informal.
Selain terampil berkomunikasi, peserta didik diharapkan memiliki sikap apresiatif terhadap karya sastra Bahasa Indonesia, para tokoh-tokoh kebahasaan, guru, dan sesama pelajar. Tujuan tentu saja, untuk menanamkan benih dan menumbuh kembangkan rasa nasionalisme terhadap bangsa dan negara Indonesia, yang pada akhirnya menjadikan NKRI yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pebelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995). Hal ini relevan dengan kurikulum 2004 bahwa kompetensi pebelajar bahasa diarahkan ke dalam empat subaspek, yaitu membaca, berbicara, menyimak, dan mendengarkan.
Sedangkan tujuan pembelajaran bahasa, menurut Basiran (1999) adalah keterampilan komunikasi dalam berbagai konteks komunikasi. Kemampuan yang dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai, dan mengekspresikan diri dengan berbahasa. Kesemuanya itu dikelompokkan menjadi kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan.
Sementara itu, dalam kurikulum 2004 untuk SMA dan MA, disebutkan bahwa tujuan pemelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia secara umum meliputi:
siswa menghargai dan membanggakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara.
siswa memahami Bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi,serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan.
siswa memiliki kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional,dan kematangan sosial.
siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis).
siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.
siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Untuk mencapai tujuan di atas, pembelajaran bahasa harus mengetahui prinsip-prinsip belajar bahasa yang kemudian diwujudkan dalam kegiatan pembelajarannya, serta menjadikan aspek-aspek tersebut sebagai petunjuk dalam kegiatan pembelajarannya. Prinsip-prinsip belajar bahasa dapat disarikan sebagai berikut. Pebelajar akan belajar bahasa dengan baik bila
diperlakukan sebagai individu yang memiliki kebutuhan dan minat.
diberi kesempatan berapstisipasi dalam penggunaan bahasa secara komunikatif dalam berbagai macam aktivitas.
bila ia secara sengaja memfokuskan pembelajarannya kepada bentuk, keterampilan, dan strategi untuk mendukung proses pemerolehan bahasa.
ia disebarkan dalam data sosiokultural dan pengalaman langsung dengan budaya menjadi bagian dari bahasa sasaran.
jika menyadari akan peran dan hakikat bahasa dan budaya.
jika diberi umpan balik yang tepat menyangkut kemajuan mereka.
jika diberi kesempatan untuk mengatur pembelajaran mereka sendiri
(Aminuddin, 1994).
Teori-teori Belajar Bahasa.
pengertian teori menurut Kerlinger yang dikutip Sapani (1998) adalah suatu himpunan pengertian atau konsep yang saling berkaitan yang menyajikan pandangan sistematis tentang gejala dengan jalan menetapkan hubungan yang ada diantara variabel – variabel dengan tujuan untuk menjelaskan serta meramalkan gejala – gejala tersebut.
Sedangkan pengertian teori belajar bahasa adalah teori mengenai bagaimana manusia mempelajari bahasa, dari tidak bisa berkomunikasi antar sesame manusia dengan medium bahasa menjadi berkomunikasi dengan baik. Kegunaan teori, termasuk didalamnya teori belajar bahasa yaitu
a) Menyempurnakan suatu praktik
b) Memperjelas sesuatu,membuat orang mengerti sesuatu
c) Dapat merangsang pengetahuan baru dengan jalan memberikan bimbingan ke arah penyelidikan selanjutnya.
Macam-Macam Teori.
Teori Behaviorisme.
Teori behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Berikut tokoh-tokoh teori behavioristik:
a. Edward L. Thordike
Menurut teori ini, belajar adalah pembentukan atau penguatan hubungan antara stimulus dan respon. Thorndike menekankan bahwa belajar terdiri atas pembentukan ikatan atau hubungan-hubungan antara stimulus-respons yang terbentuk melalui pengulangan. Teori ini dimunculkan sebagai hasil eksperimen yang dilakukan oleh thorndike. Beliau melakukan percobaan pada seekor kucing muda. Kucing itu dibiarkan kelaparan dalam kurungan yang pintunya berjeruji. Kurungan kucing itu diberi beberapa tombol. Apabila salah satu tombolnya terpijit, pintu itu akan terbuka dengan sendirinya. Sementara itu, di luar kurungan disediakan makanan yang diletakkan dalam sebuah piring. Kucing mulai beraksi. Ia bergerak kesana kemari dan mencoba untuk keluar dari kurungan. Tidak beberapa lama tanpa disengaja kucing tersebut menyentuh tombol pembuka pintu. Dengan girang, ia keluar dari kurungan dan menuju tempat makanan tersebut.
Thorndike mencoba beberapa kali hal yang sama pada kucing tersebut. Pada awal percobaan kucing tersebut masih mondar-mandir hingga menyentuh tombol. Namun setelah sekian lama percobaan kucing tersebut tidak mondar-mandir lagi, ia langsung menyentuh tombol pembuka pintu. Dengan demikian thorndike menyimpulkan bahwa proses belajar melalui dua bentuk, yaitu:
1) trial and error , mengandung arti bahwa dengan terlatihnya proses belajar dari kesalahan, dan mencoba terus sampai berhasil.
2) law of effect, mengandung arti bahwa segala tingkah laku yang mengakibatkan suatu keadaan yang memuaskan akan terus diingat dan dipelajari dengan sebaik-baiknya.
b. Ivan Petrovitch Pavlov
Teori pavlov lebih dikenal dengan pembiasaan klasik (classical conditioning). Teori ini dimunculkan sebagai hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov, seorang ilmuwan rusia. Teori classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut. Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing dengan tujuan mengkaji bagaimana pembelajaran berlaku pada suatu organisme.
Teori ini dilatarbelakangi oleh percobaan Pavlov dengan keluarnya air liur. Air liur akan keluar apabila anjing melihat atau mencium bau makanan. Dalam percobaanya Pavlov membunyikan bel sebelum memperlihatkan makanan pada anjing. Setelah diulang berkali- kali ternyata air liur tetap keluar bila bel berbunyi meskipun makananya tidak ada. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku individu dapat dikondisikan. Belajar merupakan suatu upaya untuk mengondisikan pembentukan suatu perilaku atau respons terhadap sesuatu. Kebiasaan makan atau mandi pada jam tertentu, kebiasaan berpakaian, masuk kantor, kebiasaan belajar, bekerja dll. Terbentuk karena pengkondisian.
c. Burrhus Frederic Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif.
Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku.
Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya
Teori Nativisme.
Nativisme merupakan kata dasar dari bahasa Latin, “natus” yang artinya lahir atau “nativus” yang mempunyai arti kelahiran (pembawaan). Nativisme merupakan sebuah doktrin yang berpengaruh besar terhadap teori pemikiran psikologis. Teori nativisme ini dipelopori oleh Arthur Schopenhauer (1788-1860), seorang filosof Jerman ini mengemukakan bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir (faktor pembawaan) baik karena berasal dari keturunan orang tuanya, nenek moyangnya maupun karena memang ditakdirkan demikian.
Pembawaan itulah yang menentukan hasil perkembangannya. Manakala pembawaannya itu baik, baik pula anak itu kelak. Begitu pula sebaliknya, andaikata anak itu berpembawaan buruk, buruk pula pada masa pendewasaannya.
Potensi-potensi yang dimiliki seseorang adalah potensi hereditas (bawaan) bukan potensi pendidikan. Pendidikan dan sama sekali tidak berpengaruh terhadap perkembangan manusia. Teori ini juga termasuk dalam filsafat idealisme yang mengemukakan bahwa perkembangan seorang hanya ditentukan oleh keturunan yaitu faktor alam yang bersifat kodrati.
Menurut nativisme, pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan. Pendidikan dan lingkungan tidak berpengaruh sama sekali dan tidak berkuasa dalam perkembangan seorang anak. Dalam ilmu pendidikan teori nativisme ini dikenal sebagai pandangan pesemisme paedagogis. Teori ini disebut pula dengan Biologisme, karena mementingkan kehidupan individu saja, tanpa memperhatikan pengaruh-pengaruh dari luar. Perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh:
Faktor genetik (keturunan)
Faktor Kemampuan (bakat)
Faktor Pertumbuhan
Teori Empirisme
Nama asli teori ini adalah “The school of British Empiricism” (teori empirisme Inggris). Pelopor teo ri ini adalah John Locke (1632-1704). teori ini mengemukakan bahwa manusia dilahirkan seperti kertas kosong (putih) yang belum ditulis (teori tabularasa). Jadi sejak dilahirkan anak itu tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa dan anak dibentuk sekehendak pendidiknya. Disini kekuatan apa pada pendidik, pendidikan dan lingkungannya yang berkuasa atas pembentukan anak.
Teori empirisme ini merupakan kebalikan dari teori nativisme karena menganggap bahwa potensi atau pembawaan yang dimiliki seseorang itu sama sekali tidak ada pengaruhnya dalam upaya pendidikan. Semuanya ditentukan oleh faktor lingkungan yaitu pendidikan. Teori ini disebut juga dengan Sosiologisme, karena sepenuhnya mementingkan atau menekankan pengaruh dari luar. Dalam ilmu pendidikan teori ini dikenal sebagai pandangan optimisme paedagogis.
Teori Konvergensi.
Teori ini pada intinya merupakan perpaduan antara pandangan nativisme dan empirisme, yang keduanya dipandang sangat berat sebelah. Tokoh utama teori konvergensi adalah Louis William Stern (1871-1938), seorang filosof sekaligus sebagai psikolog Jerman.
Teori ini menggabungkan arti penting hereditas (pembawaan) dengan lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh dalam perkembangan manusia. Faktor pembawaan tidak berarti apa-apa tanpa faktor pengalaman (lingkungan). Demikian pula sebaliknya, faktor pengalaman tanpa faktor pembawaan tidak akan mampu mengembangkan manusia yang sesuai dengan harapan.
Perkembangan yang sehat akan berkembang jika kombinsai dari fasilitas yang diberikan oleh lingkungan dan potensialitas kodrati seseorang bisa mendorong berfungsinya segenap kemampuannya. Dan kondisi sosial menjadi sangat tidak sehat apabila segala pengaruh lingkungan merusak, bahkan melumpuhkan potensi psiko-fisiknya.
Dengan demikian, keadaan ini dapat dinyatakan bahwa faktor pembawaan maupun pengaruh lingkungan yang berdiri sendiri tidak dapat menentukan secara mutlak dan bukan satu-satunya faktor yang menentukan pribadi atau struktur kejiwaan seseorang.
Tujuan Teori Nativisme, Empirisme dan konvergensi dalam proses pembelajaran
Tujuan teori Nativisme, yaitu:
Mampu memunculkan bakat yang dimiliki
Mendorong seseorang mewujudkan diri yang berkompetensi
Mendorong seseorang dalam menetukan pilihan
Mendorong seseorang untuk mengembangkan potensi dari dalam dirinya
Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki
Tujuan teori Empirisme, yaitu:
Sebagai faktor penentu bagi perkembangan seseorang yang bersumber dari berbagai sistem pendidikan.
Mendorong seseorang dalam penguasaan terhadap bidang pengetahuan,
Agar pendidikan seseorang menjadi relevan dan paling efektif yangberorientasi pada pemberdayaan pendidikan dan pengalaman anak-didik itu sendiri.
Sedangkan tujuan teori belajar konvergensi adalah gabungan antara tujuan teori nativisme dan tujuan dari teori empirisme.
Aplikasi dalam kehidupan.
Berdasarkan teori nativisme, untuk mendukung teori tersebut di era sekarang banyak dibuka pelatiahan dan kursus untuk pengembangan bakat sehingga bakat yang dibawa sejak lahir itu dilatih dan dikembangkan agar setiap individu manusia mampu mengolah potensi diri. Sehingga potensi yang ada dalam diri manusia tidak sia-sia kerena tidak dikembangkan, dilatih dan dimunculkan.
Sedangkan yang terjadi dari realisasi paradigma empirisme, salah satunya adalah munculnya reduksi terus-terusan atau bahkan penghilangan dimensi dan peranan internal dalam proses pendidikan. Berpijak dari pandangan bahwa faktor ekstern manusia, merupakan faktor penentu, maka upaya yang dilaksanakan akan terus-terusan berorientasi pada pemberdayaan aspek luar diri manusia itu sendiri. Reduksi dan bahkan penghilangan dimensi dan peranan internal manusia, justru akan mendorong dan mengarahkan manusia yang menjadi anak-didik ke arah “sekularisasi”kehidupan dari aspek-aspek rohani, terutama naluri keagamaan.
Dari bermacam-macam istilah teori perkembangan seperti tersebut di atas, teori konvergensi merupakan teori yang dapat diterima oleh para ahli pada umumnya. Sehingga teori ini merupakan salah satu hukum perkembangan individu di samping adanya hukum-hukum perkembangan yang lain.
Jadi, baik faktor pembawaan (gen) dan lingkungan itu diperlukan bagi seseorang meski hanya sekedar ada di dunia. Faktor bawaan dan lingkungan bekerja sama untuk menghasilkan kecerdasan temperamen, tinggi badan, berat badan, kecakapan membaca, dan sebagainya. Tanpa gen, tidak akan ada perkembangan, tanpa lingkungan tidak ada pula perkembangan karena pengaruh lingkungan tergantung pada karakteristik genetik bawaan, jadi dapat kita katakan bahwa ke-2 faktor di atas saling berinteraksi
Teori Mentalisme.
Teori ini dimotori oleh Noam Chomsky (1959) dengan membahas dan menyerang pendapat skinner. Berikut ini beberapa catatan mengenai teori pembelajaran dan pemerolehan bahasa menurut teori mentalis.
1. Bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia.
2. Perilaku bahasa adalah sesuatu yang diturunkan.
3. Pemerolehan bahasa berlangsung secara alami.
4. Pola perkembangan bahasa sama pada berbagai macam bahasa dan budaya. Lingkungan hanya memiliki peran kecil dalam pemerolehan bahasa.
5. Anak (setiap orang) sudah dibekali apa yang disebut piranti penguasaan bahasa ‘Language Acquisition Device (LAD)’ sebagai bawaan dari lahir yang antara lain meliputi:
Kemampuan membedakan bunyi bahasa dengan bahasa-bahasa lain.
Kemampuan menyusun bahasa menjadi sistem struktur.
Pengetahuan yang mungkin dan tidak mungkin diterima dalam sistem linguistik.
6. Aliran mentalis tidak setuju menyamakan proses belajar pada manusia dengan yang terjadi pada binatang. Manusia memiliki akal dan pikiran yang kompleks. Binatang mempuyai naluri.
7. Belajar bahasa tidak hanya sekedar latihan-latihan mekanis seperti yang ditonjolkan teori behavioris, melainkan lebih kompleks dari itu.
8. Ada beberapa teori yang tergolong aliran mentalis ini, misalnya:
Teori Tatabahasa Universal
Teori Monitor
Teori Kognitif.
Seperti sudah dikemukakan bahwa teori behavioris dan teori mentalis merupakan dua teori belajar bahasa yang dalam banyak han bertentangan sehingga membentuk dua kubu tempat berhimpun masing-masing pengikutnya. Dalam situasi seperti ini biasanya selalu muncul teori-teori lain yang mencoba menjembatani atau mencari jalan tengah.
Teori Kognitivisme.
Berbeda dengan teori belajar behavioristik. Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajarnya. Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Tidak seperti model belajar behavioristik yang mempelajari proses belajar hanya sebagai stimulus-respon, model belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model perseptual. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan presepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak.
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi yang saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut . Memisah-misahkan atau membagi situasi/materi elajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berfikir secara kompleks. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaiakannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pemahaman-pemahaman sebelumnya. Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan seperti : “Tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J. Piaget, Advance organizer oleh Ausubel, Pemahaman onsep oleh Bruner, Hirarki belajar oleh Gagne, Webteaching oleh Norman, dan sebagainya. Berikut diuraikan lebih rinci beberapa pandangan mereka
Teori Huamnisme.
Humanisme berasal dari latin, humanis; manusia, dan isme berarti paham atau aliran. Humanisme merupakan istilah yang sering digunakan pada kalangan massyarakat Indonesia sebagai suatu kata yang mengungkapkan tentang sesuatu yang berhubungan dengan manusia. adapun arti humanisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau yang seing di sebut KBBI yaitu aliran yg bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yg lebih baik.
Semula humanisme adalah gerakan dengan tujuan untuk mempromosikan harkat dan martabat manusia. Sebagai pemikiran etis yang menjunjung tinggi manusia. Humanisme menekankan harkat, peran, tanggugjawab menurut manusia. Menurut humanisme manusia mempuyai kedudukan yang istimewa dan berkemampuan lebih dari mahluk lainya karena mempunyai rohani. Pandangan humanisme membuat manusia sadar kembali tentang harkat dan martabat manusia sebagai mahluk rohani. Etika rohani mendasari manusia untuk bertangungjawab dalam kehidupan di dunia.
Adapun humanisme itu sendiri sangatlah berkaitan dengan kegiatan kehidupan masyarakat yang berkaitan eperti humanisme terkait pendidikan pembelajaran kepada para siswa, humanisme terkait keagamaan, hingga humanisme universal yang mencakup Satu Dunia, Satu Bangsa, Bangsa Manusia yang lahir di alam bumi ini sehingga, banyak yang menghubungkan antara humanisme dengan masalah masalah serta isu yang berhubungan dengan manusia.
Contohnya saja pada pendidikan pembelajaran, guru merupakan salah satu komponenen terpenting yang ada dalam system pembelajaran di sekolah karena apabila tidak ada guru proses pembelajaran tidak akan berjalan. Selain guru murid juga termasuk salah satu komponen penting karena, apa gunanya guru apabila tidak adanya murid untuk dididik sehingga dalam proses pembelajaran membutuhkan suatu hak dan kewajiban tentang kemanusian yang ada.
Teori Fungsionalisem.
Teori fungsionalisme adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiranstructural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.
Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut denganrequisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut.
Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.
Durkheim berpikir bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat, suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Teori fungsionalisme yang menekankan kepada keteraturan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain, dengan kata lain masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada, fungsional bagi sistem sosial itu. Demikian pula semua institusi yang ada diperlukan oleh sistem sosial itu, bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat dilihat dari kondisi dinamika dalam keseimbangan. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya jika tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Dalam bukunya "Pembagian Kerja dalam Masyarakat", Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat 'mekanis' dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, menurut Durkheim kesadaran kolektifsepenuhnya mencakup kesadaran individual, norma-norma sosial kuat dan perilaku sosialdiatur dengan rapi. Sedangkan dalam masyarakat modern, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang 'mekanis', misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swasembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu seperti bahan makanan, pakaian, dll untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat daripembagian kerja yang semakin rumit ini. Menurut Durkheim bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif. Seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Mengutamakan keseimbangan, dengan kata lain teori ini memandang bahwa semua peristiwa dan struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dimana jika sekelompok masyarakat ingin memajukan kelompoknya, mereka akan melihat apa yang akan d kembangkan dan tetap mempertahankan bahkan melestarikan tradisi-tradisi dan budaya yang sudah berkembang dan menjadikannya sebagai alat modernisasi.
Namun dalam hal ini penganut teori fungsional seringkali mengabaikan variabel konflik dan perubahan sosial dalam analisa mereka, akibatnya mereka seringkali di cap sebagai kelompok konservatif karena terlalu menekankan kepada keteratuan dalam masyarakat dan mengabaikan variabel konflik dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Dalam masyarakat yang beragam kebudayaan akan sangat mudah terjadi konflik, namun teori fungsional akan menjadi garis tengah untuk menjadikan sebuah perbedaan menjadi alat untuk bersatu
Teori Konstruktivisme
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan dapat diartikan Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Dengan teori konstruktivisme siswa dapat berfikir untuk menyelesaikan masalah, mencari idea dan membuat keputusan. Siswa akan lebih paham karena mereka terlibat langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih pahamdan mampu mengapliklasikannya dalam semua situasi. Selian itu siswa terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep.
PERTEMUAN KE 2
2.2 Pengertian Pendekatan Pembelajaran.
Pendekatan pembelajaran merupakan persiapan atau langkah awal dari proses pembelajaran agar tercapai kompetensi yang telah diharapkan. Seorang guru akan menggunakan pendekatan pembelajaran sebagai cara umum dalam memandang permasalahan maupun objek kajian, baik itu yang berpusat pada siswa maupun yang berpusat pada guru. Selanjutnya, berdasarkan pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan tersebut, guru menurunkannya ke dalam strategi pembelajaran dengan menggunakan langkah-langkah yang sistematik dan sistemik.
cara pandang atau titik tolak pendidik yang digunakan untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran dan tercapainya kompetensi yang ditentukan. Secara umum, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered approach).
Jenis – jenis pendektan pembelajaran.
Terdapat beberapa jenis pendekatan pembelajaran yaitu:
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning).
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) atau biasa disingkat CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar.
Johnson (dalam Nurhadi, 2004:13-14) mengungkapakan bahwa karakteristik pendekatan kontekstual memiliki delapan komponen utama yaitu:
a. Memiliki hubungan yang bermakna
b. Melakukan kegiatan yang signifikan
c. Belajar yang diatur sendiri
d. Bekerja sama
e. Berfikir kritis dan kreatif
f. Mengasuh dan memelihara pribadi peserta didik
g. Mencapai standar yang tinggi
h. Menggunakan penilaian autentik.
Penerapan Pendekatan Kontekstual di Kelas
Langkah-langkah penerapan kontekstual di kelas yaitu sebagai berikut:
Mengembangkan pemikiran bahwa peserta didik akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan bertanya (komponen konstruktivisme)
Melaksanakan kegiatan menemukan sendiri untuk mencapai kompetensi yang diinginkan (komponen inkuiri)
Mengembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan bertanya (komponen bertanya)
Menciptakan masyarakat belajar, kerja kelompok (komponen masyarakat belajar)
Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran (komponen pemodelan)
Melakukan refleksi di akhir pertemuan, agar peserta didik merasa bahwa hari ini mereka belajar sesuatu (komponen refleksi)
Melakukan penilaian yang autentik dari berbagai sumber dan cara (komponen asesmen autentik)
Tematis.
Pendekatan tematik merupakan suatu strategi yang melibatkan beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada pebelajar (Ariantani, 2003). Keterpaduan dapat dilihat dari segi proses, waktu, segi kurikulum, dan segi aspek belajar-mengajar. Menurut Puskur (2002) pembelajaran tematik hanya diajarkan pada siswa sekolah dasar kelas rendah (kelas I dan II), karena pada umumnya mereka masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holostik), perkembangan fisiknya tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan mental, sosial, dan emosional. Untuk itu, strategi pembelajaran tematik hendaknya, (1) bersahabat, menyenangkan, tetapi tetap bermakna bagi anak, (2) dalam menanamkan konsep atau pengetahuan dan keterampilan, anak tidak harus didrill, tetapi ia belajar melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah dipahami. Bentuk pembelajaran ini dikenal dengan pembelajaran terpadu, dan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan siswa. Sesuai dengan perkembangan fisik dan mental siswa kelas I dan II, pembelajaran pada tahap ini menurut Ariantini (2003:1) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
Berpusat pada siswa
Memberikan pengalaman langsung pada anak
Pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelas
Menyajikan konsep dari beberapa mata pelajaran
Bersifat fleksibel
Hasil belajar dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa
Disamping itu, pembelajaran tematis memiliki beberapa kekuatan yakni :
Pengalaman dan kegiatan belajar yang relevan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak
Menyenangkan karena bertolak dari minat dan kebutuhan anak
Hasil belajar akan bertahan lebih lama karena lebih terkesan dan bermakna
Mengembangkan berpikir anak sesuai dengan permasalahan yang dihadapi
Menumbuhkan keterampilan sosial dalam bekerja sama, toleransi, komunikasi, dan tangap terhadap gagasan.
Sedangkan peran tema dalam pembelajaran tematik menurut Puskur (2001;23), yakni:
Siswa mudah memusatkan perhatian pada satu tema atau topik tertentu
Siswa dapat mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi mata pelajaran dalam tema yang sama
Pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan
Kompetensi berbahasa bisa dikembangkan lebih baik dengan mengaitkan mata pelajaran lain dengan pengalaman pribadi anak
Siswa lebih bergairah belajar karena mereka bisa berkomunikasi dalam situasi yang nyata, misalnya bertanya, bercerita, menulis deskripsi, menulis surat untuk mengembangkan keterampilan berbahasa, sekaligus untuk mempelajari mata pelajaran lain
Guru dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara terpadu dapat dipersiapkan sekaligus dan diberikan 2 atau 3 kali pertemuan. Waktu selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remidial, pemantapan atau pengayaan.
Intergratif Atau Terpadu.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia dikelas-kelas rendah, keterampilan tersebut dapat diwujudkan sebagai berikut :
Ketika guru mengajarkan menulis kalimat atau kata-kata, sekaligus guru mengajarkan bagaimana melafalkannya (mengucapkannya) dengan tepat. Dalam hal ini guru mengkaitkan kegiatan membaca dan pemahaman tentang lafal atau ucapan yang tercakup dalam tata bunyi.
Ketika guru mengajarkan menulis kalimat atau kata-kata, guru sekaligus juga mengajarkan bagaimana membacanya, melafalkannya, dan bagaimana ejaannya. dalam hal ini, kecuali guru mengaitkan membaca dan lafal, guru juga mengaitkannya dengan fonem, walaupun istilah tersebut tidak dinyatakan kepada siswa . Hal ini dilihat misalnya pada waktu siswa harus menuliskan kata-kata seperti, mama, mana, mata, yang maknanya berbeda-beda karena perbedaan pada /m/n/,dan /t/.
Pada waktu guru mengajarkan membaca kalimat, guru sekaligus mengajarkan bagaimana intonasinya, pelafalannya, tanda baca yang ada dalam bacaan. dan bagaimana membaca kalimat itu dengan memperhatikan tanda-tanda baca yang digunakan. Disamping itu, guru berkesempatan menambah kosa kata siswa dan pada waktu guru memberikan contoh membaca atau salah seorang siswa membaca, tentu saja siswa yang lain harus menyimak.
Pada saat guru mengajarkan menulis kalimat, guru sekaligus mengajarkan ejaan bagaimana cara menggunakan tanda baca dalam kalimat., seperti titik, koma, dan tanda tanya. Disamping itu, siswa juga diminta membaca kalimat-kalimat yang telah mereka buat, siswa yang sedang tidak membaca akan mendengarkan dengan baik atau menyimak. Jika demikian telah ada pemaduan antara menulis, membaca dan menyimak tetapi dalam hal ini tekanannya pada keterampilan menulis.
Pada waktu guru mengajarkan keterampilan berbicara sekaligus guru mengajarkan intonasi, lafal, dan menyimak. Mungkin setelah salah satu siswa bercerita, siswa yang lain diminta mengemukakan isi cerita itu secara singkat. Dengan demikian, pada waktu salah seorang siswa bercerita, temannya benar-benar menyimak.
Keterampilan menyimak dapat dipadukan dengan keterampilan berbicara maupun keterampilan menulis. Pada pembelajaran menyimak ini, dapat juga guru sengaja menggunakan atau menyelipkan kata-kata baru bagi siswa, sehingga menambah pembendaharaan kata mereka. Jika demikian, berarti guru telah memadukan menyimak, berbicara, menulis dan pembendaharaan kosa kata siswa.
Pada waktu guru mengajarkan kata-kata baru, guru harus selalu ingat bahwa kata-kata tersebut harus masuk dalam kalimat atau dalam bacaan (di dalam konteks). Jadi dalam hal ini, guru mengajarkan kata baru sekaligus mengajarkan bagaimana penggunaannya didalam kalimat. Dalam hal ini ada pemaduan antara kosa kata keterampilan berbahasa dan struktur.
Pemaduan dengan bidang-bidang studi lain seperti IPA, IPS, dan matematika dilakukan melalui penyajian tema dan materi berkaitan dengan bidang studi tersebut. Di kelas-kelas yang lebih tinggi, pembelajaran aspek-aspek keterampilan berbahasa diberikan secara terpadu. Misalnya:
a. Menyimak dan berbicara.
Contoh :
Guru menceritakan sebuah peristiwa, siswa menyimak cerita tersebut. Setelah selesai, siswa diberi waktu sejenak dan kemudian seorang siswa diminta menceritakan kembali isi cerita tersebut dengan bahasa (kalimat-kalimat) siswa sendiri secara singkat.
Dalam hal ini, yang diutamakan adalah kemampuan siswa memahami apa yang mereka simak dan kemampuan mengemukakan pikirannya. Karena yang mendapat kesempatan berbicara hanya beberapa siswa, yang lain diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya mengenai dialog yang dilakukan oleh teman-temannya yang mendapat kesempatan di depan kelas. Dengan cara-cara tersebut, guru memadukan, menyimak dan berbicara.
b. Menyimak dan menulis
Guru membacakan dan memperdengarkan rekaman drama atau sebuah cerpen, kemudian siswa menyimak. Beberapa drama/cerpen itu dibaca/diperdengarkan, tergantung pada tingkat kesukaran drama/cerpen tersebut. Setelah selesai, siswa diberi waktu untuk menanyakan yang tidak mereka mengerti. Sesudah itu mereka diberikan waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan guru tentang drama/ cerpen itu., atau diminta menuliskan isi cerpen/drama secara ringkas dengan kalimat mereka sendiri.
Dapat juga diminta siswa mendengarkan radio atau televisi pada acara tertentu, dan diminta membuat laporan hasil simakannya secara tertulis. Dalam hal ini guru harus jeli, memiliki acara- acara yang memungkinkan dilaksanakannya tugas tersebut oleh siswa. Dengan cara-cara diatas guru memadukan pelajaran menyimak dan menulis. Cara yang lain masih cukup banyak.
c. Membaca dan menyimak
Contoh :
Siswa diberi tugas membacakan suatu wacana. Dalam hal ini ketentuan-ketentuan membaca untuk orang lain harus dipahami oleh siswa. Siswa yang lain menyimak. Setelah itu siswa diberikan waktu untuk berfikir, kemudian tugas selanjutnya, mungkin siswa diminta untuk menceritakan isi yang disimak secara lisan atau mungkin tertulis. dalam hal ini, agar yang mendapat giliran membaca tidak sedikit, naskah yang dibaca sebaiknya naskah-naskah yang pendek, seperti informasi singkat, perintah,dan sebaginya. Dengan cara-cara diatas guru memadukan membaca dengan menyimak.
d. Membaca dan menulis
Contoh :
Guru memberikan tugas kepada siswa untuk membaca cerita dan tulisan-tulisan yang lain diluar kelas, dan meminta kepada mereka untuk menuliskan ringkasan hasil bacaan masing-masing. Setelah mereka menuliskan hasil ringkasannya tersebut , guru dapat meminta kepada siswa untuk mengumpulkan saja hasil mereka, atau dapat juga sebelum mereka mengumpulkan , beberapa siswa diberi giliran untuk membacakan atau mengemukakan hasil mereka masing-masing. Dengan cara seperti itu terjadi pemaduan antara membaca, menulis dan berbicara.
e. Menulis dan bercerita
Contoh :
Guru memberikan tugas kepada siswa untuk membuat karangan di luar kelas. Pada waktu yang telah ditentukan, siswa menceritakan isi karangannya, sebelum karangan itu dikumpulkan. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil.masing-masing kelompok beranggotakan tiga atau empat orang. Tiap kelompok diberi tugas merencanakan dan menuliskan sebuah adegan yang dapat diperankan. Pada jam yang telah disepakati bersama, sebelum naskah diserahkan kepada guru, tiap kelompok diminta memperagakan apa yang telah mereka rencanakan dan mereka tulis itu.
Konstrutivisme.
Kontruktivisme merupakan landasan berfikir pendekatan kontekstual. Yaitu bahwa pendekatan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba(Suwarna,2005).
Piaget (1970), Brunner dan Brand 1966), Dewey (1938) dan Ausubel (1963). Menurut Caprio (1994), McBrien Brandt (1997), dan Nik Aziz (1999) kelebihan teori konstruktivisme ialah pelajar berpeluang membina pengetahuan secara aktif melalui proses saling pengaruh antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.Pembelajaran terdahulu dikaitkan dengan pembelajaran terbaru. Perkaitan ini dibina sendiri oleh pelajar.
Menurut teori konstruktivisme, konsep-konsep yang dibina pada struktur kognitif seorang akan berkembang dan berubah apabila ia mendapat pengetahuan atau pengalaman baru. Rumelhart dan Norman (1978) menjelaskan seseorang akan dapat membina konsep dalam struktur kognitifnya dengan menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sedia ada padanya dan proses ini dikenali sebagai accretion. Selain itu, konsep-konsep yang ada pada seseorang boleh berubah selaras dengan pengalaman baru yang dialaminya dan ini dikenali sebagai penalaan atau tuning.Seseorang juga boleh membina konsep-konsep dalam struktur kognitifnya dengan menggunakan analogi, iaitu berdasarkan pengetahuan yang ada padanya. Menurut Gagne, Yekovich, dan Yekovich (1993) konsep baru juga boleh dibina dengan menggabungkan konsep-konsep yang sedia ada pada seseorang dan ini dikenali sebagai parcing.
Pendekatan konstruktivisme sangat penting dalam proses pembelajaran kerana belajar digalakkan membina konsep sendiri dengan menghubungkaitkan perkara yang dipelajari dengan pengetahuan yang sedia ada pada mereka. Dalam proses ini, pelajar dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang sesuatu perkara.
Kajian Sharan dan Sachar (1992, disebut dalam Sushkin, 1999) membuktikan kumpulan pelajar yang diajar menggunakan pendekatan konstruktivisme telah mendapat pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan berbanding kumpulan pelajar yang diajar menggunakan pendekatan tradisional. Kajian Caprio (1994), Nor Aini (2002), Van Drie dan Van Boxtel (2003), Curtis (1998), dan Lieu (1997) turut membuktikan bahawa pendekatan konstruktivisme dapat membantu pelajar untuk mendapatkan pemahaman dan pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan.
Proses.
Pada pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhipotesa, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984. Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung siswa dalam kegiatan belajar.
Dalam pendekatan proses, ada dua hal mendasar yang harus selalu dipegang pada setiap proses yang berlangsung dalam pendidikan. Pertama, proses mengalami. Pendidikan harus sungguh menjadi suatu pengalaman pribadi bagi peserta didik. Dengan proses mengalami, maka pendidikan akan menjadi bagian integral dari diri peserta didik; bukan lagi potongan-potongan pengalaman yang disodorkan untuk diterima, yang sebenarnya bukan miliknya sendiri.
Dengan demikian, pendidikan mengejawantah dalam diri peserta didik dalam
setiap proses pendidikan yang dialaminya.
Whole language atau keseluruhan bahasa.
Whole language adalah satu pendekatan pengajaran bahasa yang menyajikan pengajaran bahasa secara utuh, tidak terpisah-pisah (Edelsky, 1991; Froese,1990; Goodman,1986; Weaver,1992). Whole language adalah cara untuk menyatukan pandangan tentang bahasa, tentang pembelajaran, dan tentang orang-orang yang terlibat dalam pembelajaran. Whole language dimulai dengan menumbuhkan lingkungan dimana bahasa diajarkan secara utuh dan keterampilan bahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) diajarkan secara terpadu.
Menurut Routman (1991) dan Froese (1991) ada delapan komponen:
1. Reading Aloud
Reading aloud adalah kegiatan membaca yang dilakukan oleh guru untuk siswanya. Manfaat yang didapat dari reading aloud antara lain meningkatkan keterampilan menyimak, memperkaya kosakata, membantu meningkatkan membaca pemahaman, dan menumbuhkan minat baca pada siswa.
2. Jurnal Writing
Melalui menulis jurnal, siswa dilatih untuk lancar mencurahkan gagasan dan menceritakan kejadian di sekitarnya, menggunakan bahasa dalam bentuk tulisan. Banyak manfaat yang diperoleh dari menulis jurnal antara lain:
a. Meningkatkan kemampuan menulis
b. Meningkatkan kemampuan membaca
c. Menumbuhkan keberanian menghadap risiko
d. Memberi kesempatan untuk membuat refleksi
e. Memvalidasi pengalaman dan perasaan pribadi
f. Memberikan tempat yang aman dan rahasia untuk menulis
g. Meningkatkan kemampuan berpikir
h. Meningkatkan kesadaran akan peraturan menulis
i. Menjadi alat evaluasi
j. Menjadi dokumen tertulis
3. Sustained Silent Reading
Sustained Silent Reading adalah kegiatan membaca dalam hati yang dilakukan siswa. Siswa dibiarkan untuk memilih bacaan yang sesuai dengan kemampuannya sehingga mereka dapat menyelesaikan bacaan tersebut. Oleh karena itu, guru sedapat mungkin menyediakan bahan bacaan yang menarik dari berbagai buku atau sumber sehingga memungkinkan siswa memilih materi bacaan. Pesan yang ingin disampaikan kepada siswa melalui kegiatan ini adalah:
a. Membaca adalah kegiatan penting yang menyenangkan
b. Membaca dapat dilakukan oleh siapapun
c. Membaca berarti kita berkomunikasi dengan pengarang buku tersebut
d. Siswa dapat membaca dan berkonsentrasi pada bacaannya dalam waktu yang cukup lama
e. Guru percaya bahwa siswa memahami apa yang mereka baca
f. Siswa dapat berbagi pengetahuan yang menarik dari materi yang dibacanya setelah kegiatan SSR berakhir
4. Shared Reading
Shared Reading adalah kegiatan membaca bersama antara guru dan siswa, dimana setiap orang mempunyai buku yang sedang dibacanya.
Ada beberapa cara melakukan kegiatan ini:
a. Guru membaca dan siswa mengikutinya (untuk kelas rendah)
b. Guru membaca dan siswa menyimak sambil melihat bacaan yang tertera pada buku
c. Siswa membaca bergiliran
Maksud kegiatan ini adalah:
a. Sambil melihat tulisan, siswa berkesempatan untuk memperhatikan guru membaca sebagai model
b. Memberikan kesempatan untuk memperlihatkan keterampilan membacanya
c. Siswa yang masih kurang terampil dalam membaca mendapat contoh membaca yang benar
5. Guided Reading
Guided reading disebut juga membaca terbimbing, guru menjadi pengamat dan fasilitator. Dalam membaca terbimbing penekanannya bukan dalam cara membaca itu sendiri, tetapi lebih pada membaca pemahaman. Dalam guided reading semua siswa membaca dan mendiskusikan buku yang sama.
6. Guided Writing
Guided Writing atau menulis terbimbing, peran guru adalah sebagai fasilitator, membantu siswa menemukan apa yang ingin ditulisnya dan bagaimana menulisnya dengan jelas, sistematis, dan menarik.
7. Independent Reading
Independent Reading atau membaca bebas adalah kegiatan membaca, dimana siswa berkesempatan untuk menentukan sendiri materi yang ingin dibacanya. Membaca bebas
merupakan bagian integral dari whole language. Dalam independent reading, siswa bertanggung jawab terhadap bacaan yang dipilihnya sehingga peran guru pun berubah dari seorang pemrakarsa, model, dan pemberi tuntunan menjadi seorang pengamat, fasilitator, dam pemberi respons.
8. Independent Writing
Independent Writing atau menulis bebas bertujuan untuk meningkatkan kemampuan menulis, kebiasaan menulis, dan kemampuan berpikir kritis. Jenis menulis yang termasuk independent writing antara lain menulis jurnal dan menulis respons.
Balance literacy atau keseimabangan literasi.
Pendekatan Balance Literacy merupakan konsep pembelajaran yang memadukan pendekatan phonic dan whole language yang saling bertentangan untuk penerapan pembelajaran terbaik dalam pengembangan kemampuan membaca dan menulis. Pendekatan phonicmenekankan pembelajaran pada ketepatan dan keakuratan dalam membaca kata. Anak diperkenalkan dengan aturan-aturan fonetis dan fonemis atau cara mengeja dan menuliskan huruf/kata (keterampilan analisis phonic). Siswa diajari memahami hubungan antara huruf-bunyi pada kata, meliputi bunyi vokal, konsonan, diftong, dan konsonan ganda. Misalnya anak perlu memahami ucapan bunyi vokal dan variasi kata. Huruf e : berbunyi “e”dalam kata sate, berbunyi dalam kata benda, berbunyi pada kata enak. Huruf ng dibaca “eng”, ny = “eny”. Huruf b pada kata bapak= “b” diucapkan berbeda dengan huruf b pada kata sabtu = “p”. Setelah siswa memahami hubungan bunyi-huruf tersebut selanjutnya menerapkannya dalam kata/kalimat/teks yang dikenal. Tujuan pendekatan ini adalah agar anak menyadari fonik melalui menghubungkan bunyi-huruf dan dapat membunyikan huruf pada kata/ka-limat/teks yang dihadapinya, menganalisis dan menggabungkannya secara tepat dan akurat.
Jumat, 22 Desember 2017
Masalah : Kurangnya interaksi sosial antara anak yang mengalami hambatan
pendengaran atau anak tunarungu dengan anak normal
Topik : Pentingnya pendidikan karakter bagi anak tunarungu agar mempermudah anak dalamberinteraksi dengan anak normal
Latar Belakang Masalah
World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa 80% penyandang disabilitas berada di negara-negara berkembang tidak terkecuali Indonesia. Sepertiga dari 80% jumlah penyandang disabilitas merupakan anak-anak. Data WHO tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah anak penyandang disabilitas di Indonesia ada 7-10% dari jumlah populasi di Indonesia atau sekitar 295.250 jiwa.
Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2014) disabilitas pendengaran menempati posisi ketiga setelah disabilitas lebih dari satu jenis (disabilitas ganda) dan disabilitas penglihatan. Jumlah prosentase untuk disabilitas adalah 7,87% dari total disabilitas yang ada di Indonesia.
Anak-anak yang menyandang disabilitas pendengaran disebut dengan anak tunarungu. Anak tunarungu merupakan anak-anak yang mengalami disfungsi pendengaran dan mempengaruhi kehidupan sehari-sehari (Somantri,2007). Sedangkan, untuk anak-anak yang tidak mengalami gangguan pendengaran akan disebut sebagai anak normal. Disfungsi pendengaran yang dialami oleh anak tunarungu memiliki beberapa dampak, misalnya anak tunarungu mengalami kesulitan memproduksi bahasa dan mengalami keterlambatan dalam meniti fase perkembangan.
Anak tunarungu mengalami gangguan pendengaran sehingga memiliki hambatan dalam perkembangan bahasa dan komunikasi. Sebagai akibatnya, mereka mengalami kesulitan untuk menguasai bahasa, kekurangan kosakata, sulit mengartikan kosakata, dan sulit mengartikan kata-kata yang mengandung arti kiasan. Pada umumnya intelegensi anak tunarungu secara potensial sama dengan anak normal pada umumnya, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan bahasanya, keterbatasan informasi, dan kurangnya daya abstraksi anak. Akibat ketunarunguan itu menghambat proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas. Hal ini menimbulkan masalah-masalah dalam proses pembelajaran, salah satu permasalahan yang terjadi adalah masih kurangnya pemahaman anak tunarungu dalam pokok-pokok bahasan tertentu terutama yang bersifat abstrak.
Sesuai dengan karakteristiknya, anak tunarungu mengalihkan fungsi indra pendengarannya pada indera penglihatan. Sehingga informasi, pengetahuan dan pengalamannya lebih banyak diperoleh melalui indera penglihatan. Dilihat dari kondisi anak tunarungu diatas, anak tunarungu bisa dikatakan sebagai anak yang mebutuhkan pengembangan dalam visual, maka akan lebih baik apabila dalam proses belajarnya disekolah guru memberikan pengalaman langsung melalui media pembelajaran, misalnya dengan benda asli, tiruan, maupun gambar. Oleh karena itu pada mata pelajaran tertentu yang sifatnya abstrak dan menuntut banyak pengalaman nyata dibutuhkan suatu pendekatan pembelajaran secara khusus apabila anak tidak memahami penggunaan bahasa oral atau gerak bibir sama sekali.
Kesulitan anak tunarungu dalam mendengar dan memproduksi bahasa menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa. Anak tunarungu mengalami keterlambatan berbicara jika dibandingkan dengan anak normal pada umumnya. Selain itu, anak tunarungu memerlukan waktu yang lebih lama untuk belajar sesuatu dibandingkan dengan anak normal. Misalnya, seorang anak normal mampu untuk membuat frasa bermakna pada usia 5 tahun sedangkan anak tunarungu belum tentu menguasai hal tersebut di usia yang sama. “Anak normal‟ mampu menguasai kosakata yang lebih banyak karena mereka memiliki pendengaran yang baik sehingga mampu untuk menangkap hal tersebut dan tersimpan di memori.
Disfungsi pendengaran juga membuat anak tunarungu mengalami keterlambatan dalam perkembangan sosio-emosi. Mereka mengalami kesulitan untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain. sehingga mereka lebih sering menghasilkan emosi negatif. Emosi negatif inilah yang membuat mereka mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan sebaya. Mereka cukup sulit untuk diterima dan dipahami oleh orang-orang di sekitarnya.
Perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat mengharuskan kita untuk mengikuti perkembangan tersebut, terutama dalam kehidupan sehari-hari untuk membangun sumber daya manusia yang handal dan berkualitas. Teknologi informasi tersebut adalah media yang membantu dalam mempelajari bahasa isyarat secara umum yang dipahami sebagai media berkomunikasi pada umumnya dimengerti secara oral (berbicara) dan dalam bentuk tulisan (Wijayanto, 2010).
Kesulitan berinteraksi dengan sebaya juga merupakan hambatan dalam perkembangan sosio-emosi. Kapabilitas seseorang untuk berelasi dalam lingkungan sosial akan berkembang pada masa anak-anak. Berelasi dalam lingkungan sosial akan tampak ketika anak-anak sedang bermain. Bermain dengan teman sebaya memiliki peran penting dalam kualitas pertemanan di masa depan. Hal ini juga yang menjadi penentu keberhasilan seorang anak untuk mempertahankan relasinya dengan teman sebayanya.
Berelasi dalam lingkungan sosial dan bermain akan membangun interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan suatu proses yang dialami oleh semua manusia tidak terkecuali antar anak tunarungu dan anak normal. Proses interaksi ini terjadi antara dua orang atau lebih yang melibatkan komunikasi dan kontak sosial. Interaksi sosial pada anak tunarungu juga merujuk pada adanya komunikasi linguistik dan nonlinguistik serta permainan sosial.
Anak tunarungu cenderung untuk membangun interaksi sosial dengan sesama anak tunarungu karena mereka memiliki tingkat pendengaran yang kurang lebih sama. Selain itu, komunikasi yang terjadi antara anak tunarungu dengan anak normal terjadi lebih sedikit dibandingkan dengan antar-anak tunarungu. Hal ini tampak pada penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa anak tunarungu seringkali ditolak oleh anak normal ketika mencoba untuk melakukan kontak sosial. Terkadang komunikasi yang terjadi antara anak tunarungu dengan anak normal juga mengalami kekurangan konten linguistik dan berakhir dengan cepat.
Berdasarkan pengalaman peneliti, anak tunarungu yang menempuh pendidikan disekolah inklusi lebih sering menghabiskan waktu di sekolah sendirian. Teman-temannya yang dapat mendengar cenderung untuk mengabaikan kehadirannya. Di luar jam sekolah, anak tunarungu ini bisa berinteraksi dengan cukup baik dengan sesama anak tunarungu dan bergabung dalam suatu komunitas. Mereka bisa bercerita suatu hal dengan bahasa mereka sendiri. Hal ini membuktikan bahwa anak tunarungu merasa lebih nyaman untuk berinteraksi dengan sesama tunarungu dibandingkan dengan anak normal.
Anak tunarungu juga cenderung meminta klarifikasi terutama tentang informasi baru dibandingkan dengan anak normal. Anak tunarungu juga memberikan sentuhan netral ketika mengajak anak normal berinteraksi sedangkan ketika dengan sesama anak tunarungu mereka memutar kepala temannya agar melihat dirinya ketika
mengajak berinteraksi. Terkadang, anak tunarungu langsung bergabung dalam permainan ketika sedang bersama sesama anak tunarungu lainnya.
Kontak sosial seperti sentuhan fisik bisa terjadi di antara sesama anak tunarungu dan anak normal akan tetapi hal ini belum tentu berlaku sama pada komunikasi. Terkadang, setelah kontak sosial terjadi akan ada proses penyampaian ide atau perasaan. Hal ini yang terkadang tidak tersampaikan oleh anak tunarungu dan anak normal. Sesama anak tunarungu mampu untuk berkomunikasi satu sama lain sehingga mereka paham pesan yang disampaikan tetapi hal ini berbeda dengan komunikasi antara anak tunarungu dan anak normal. Terkadang mereka mencoba untuk berkomunikasi tetapi pesan atau maksud susah untuk tersampaikan karena anak tunarungu sulit untuk menerima stimulus berupa audio. Bahwa anak tunarungu cenderung untuk menggunakan komunikasi non linguistik ketika berinteraksi baik dengan sesama tunarungu atau dengan anak normal.
Bentuk komunikasi dan kontak sosial anak tunarungu yang berbeda membuat anak tunarungu seringmengalami penolakan dari anak normal. Penolakan yang dialami anak tunarungu membuat mereka kesulitan membangun interaksi sosial sehingga mereka tidak memiliki banyak teman. Mereka tidak memiliki banyak teman dari kalangan anak normal karena cara berinteraksi yang berbeda. Beberapa anak normal juga merasa kurang nyaman dengan keterbatasan yang dialami oleh anak tunarungu sehingga memilih untuk mengacuhkan mereka.
Kegagalan anak tunarungu dalam interaksi sosial memiliki andil yang cukup besar untuk kehidupan jangka panjang mereka. Mereka yang mengalami penolakan saat berinteraksi dengan teman sebayanya akan merasa kesepian yang berkepanjangan. Penolakan ini juga menjadi acuan apakah seorang anak tunarungu akan terus berinteraksi atau menghindari suatu interaksi. Bentuk interaksi sosial yang berbeda antar anak tunarungu dan anak tunarungu dengan anak normal membuat peneliti ingin menggambarkan bagaimana interaksi sosial antar anak tunarungu dan anak tunarungu dengan “anak dengar‟. Hal ini disebabkan penelitian sebelumnya meneliti tentang interaksi sosial pada anak tunarungu yang menggunakan alat bantu dengar dan gambaran tentang interaksi sosial mereka pun belum banyak diteliti. Selain itu, penelitian antara komunikasi dan permulaan interaksi dilakukan secara terpisah pada anak tunarungu dan anak normal.
Ada pula penelitian yang meneliti interaksi sosial anak tunarungu pada usia sekolah sehingga rentang usia responden 2 tahun –10 tahun. Berdasarkan hal tersebut, peneliti membatasi rentang usia responden dalam penelitian ini 6 tahun –12 tahun. Responden disini adalah anak tunarungu yang tidak menggunakan alat bantu dengar. Mereka juga berinteraksi baik dengan anak tunarungu maupun dengan anak normal. Pengambilan data pada penelitian sebelumnya menggunakan berbagai macam metode, seperti observasi, kuesioner, dan eksperimen. Observasi banyak digunakan pada responden dengan usia pra sekolah dan pengambilan data responden usia sekolah menggunakan kuesioner dan eksperimen. Metode pengambilan data dalam penelitian ini akan menggunakan observasi untuk melihat interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan anak normal.
Alasannya adalah untuk menggambarkan interaksi antar-anaktunarungu dan anak tunarungu dengan anak normal diperlukan pengamatan secara langsung pada lingkungan yang sesungguhnya.
Harapan peneliti dengan adanya penelitian ini hasil yang ditemukan merupakan perilaku-perilaku interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan anak normal. Berdasarkan hal tersebut, maka gambaran perilaku anak tunarungu ketika berinteraksi dengan sesamanya dan anak normal dapat terlihat jelas bagaimanakah perilaku yang muncul selama interaksi berlangsung.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah interaksi sosial antara anak tunarungu dan anak tunarungu dengan normal?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana interaksi sosial antar anak tunarungu dan anak tunarungu dengan anak normal.
Manfaat Penelitan
Secara Teoretis
Memberikan sumbangan pengetahuan dalam ranah psikologi perkembangan dan psikologi sosial tentang interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan anak normal.
Secara Praktis
Penelitian ini memberikan informasi interaksi sosial bagi orangtua dan guru agar memahami interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan anak normal. Selain memberikan informasi, diharapkan orangtua dan guru bisa memberikan dukungan kepada anak tunarungu untuk berinteraksi dengan anak normal agar anak tunarungu dapat menjalin relasi dan mempertahan relasi dengan anak normal di masa depan sehingga mereka tidak merasa kesepian.
TINJAUAN PUSTAKA
Interaksi Sosial
Berinteraksi dengan teman sebaya memiliki fungsi krusial terhadap perkembangan kehidupan sosial individu terutama anak - anak. Salah satu bentuk sosialisasi adalah interaksi sosial. Interaksi sosial bisa terjadi dengan siapa saja dan di mana saja. Interaksi sosial pertama kali terjadi pada masa kanak-kanak. Pentingnya interaksi sosial pada masa ini adalah membantu anak untuk belajar memahami perspektif orang lain terhadap realita yang ada. Hal penting lainnya adalah seorang anak belajar untuk bernegosiasi dan belajar mengenai manajemen konflik.
Definisi
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antarindividu, individu (seseorang) dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Tanpa adanya interkasi sosial maka tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Proses sosial adalah suatu interaksi atau hubungan timbal balik atau saling mempengaruhi antar manusia yang berlangsung sepanjang hidupnya didalam amasyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto, proses sosial diartikan sebagai cara-cara berhubungan yang dapat dilihat jika individu dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu serta menentukan sistem dan bentuk hubungan sosial.
Homans ( dalam Ali, 2004: 87) mendefinisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran atau hukuman dengan menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi pasangannya. Konsep yang dikemukakan oleh Homans ini mengandung pengertian bahwa interaksi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam interaksi merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu lain yang menjadi pasangannya.
Sedangkan menurut Shaw, interaksi sosial adalah suatu pertukaran antarpribadi yang masing- masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka, dan masing- masing perilaku mempengaruhi satu sama lain. Hal senada juga dikemukan oleh Thibaut dan Kelley bahwa interak si sosial sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sam lain atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi dalam kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain.
Menurut Bonner ( dalam Ali, 2004) interaksi merupakan suatu hubungan antara dua orang atau lebih individu, dimana kelakuan individu mempengaruhi, mengubah atau mempengaruhi individu lain atau sebaliknya.
Pengertian Interakasi sosial menurut beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa, interaksi adalah hubungan timbal balik anatara dua orang atau lebih, dan masing-masing orang yang terlibat di dalamnya memainkan peran secara aktif. Dalam interaksi juga lebih dari sekedar terjadi hubungan antara pihak- pihak yang terlibat melainkan terjadi saling mempengaruhi.
Komponen Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu
Soekanto (2006) mengemukakan bahwa suatu interaksi sosial baru akan terjadi apabila ada kontak sosial dan komunikasi. Dua hal ini ditetapkan sebagai syarat terjadinya interaksi sosial. Apabila hanya terjadi kontak sosial tanpa ada komunikasi maka kontak sosial tidak berarti apa-apa. Berikut penjelasan tentang kontak sosial dan komunikasi:
Kontak Sosial
Kontak sosial merupakan tahap pertama terjadinya interaksi sosial. Menurut Arifin (2015) kontak sosial merupakan hubungan antara individu atau kelompok yang di dalamnya terdapat pemahaman tentang tujuan masing-masing.
Menurut Soekanto (2013) kontak sosial terjadi apabila terdapat suatu tindakan dari satu orang dan ditanggapi oleh orang yang lainnya. Selain itu, kontak sosial terjadi apabila salah satu individu menyadari keberadaan individu lain. Berdasarkan paparan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kontak sosial adalah hubungan antara individu atau kelompok yang melibatkan kesadaran akan keberadaan individu lainnya.
Menurut Soekanto (2013) kontak sosial memiliki dua sifat, yaitu Kontak sosial primer (langsung) dan kontak sosial sekunder (tidak langsung). Kontak sosial primer merupakan suatu hubungan antar individu yang saling bertatap muka secara visual dan memiliki emosi tertentu dalam pergaulan. Misalnya, berjabat tangan, saling senyum, dan kontak mata. Sebaliknya, kontak sosial sekunder (tidak langsung) merupakan kontak sosial yang membutuhkan pihak perantara di antara individu dan ada pengaruh dari luar.
Perantara ini bisa berupa alat atau benda untuk membantu 2 atau lebih individu. Misalnya berbicara jarak jauh dengan menggunakan telepon. Selain itu, perantara juga bisa individu itu sendiri. Misalnya Individu A menceritakan perilaku individu B kepada individu C. Hal ini memunculkan kontak antara individu A dan B dengan informasi yang diberikan oleh individu C (Soekanto, 2006). Berdasarkan pemaparan di atas, definisi kontak sosial dalam penelitian ini adalah hubungan antara individu atau kelompok yang menyadari keberadaan orang lain, bertemu secara visual, dan melibatkan emosi tertentu sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain. Definisi ini disimpulkan berdasarkan definisi kontak sosial secara umum dan definisi kontak sosial primer karena hal tersebut yang akan dideskripsikan dalam penelitian ini.
Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gesture tubuh, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi nonverbal.
pendengaran atau anak tunarungu dengan anak normal
Topik : Pentingnya pendidikan karakter bagi anak tunarungu agar mempermudah anak dalamberinteraksi dengan anak normal
Latar Belakang Masalah
World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa 80% penyandang disabilitas berada di negara-negara berkembang tidak terkecuali Indonesia. Sepertiga dari 80% jumlah penyandang disabilitas merupakan anak-anak. Data WHO tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah anak penyandang disabilitas di Indonesia ada 7-10% dari jumlah populasi di Indonesia atau sekitar 295.250 jiwa.
Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2014) disabilitas pendengaran menempati posisi ketiga setelah disabilitas lebih dari satu jenis (disabilitas ganda) dan disabilitas penglihatan. Jumlah prosentase untuk disabilitas adalah 7,87% dari total disabilitas yang ada di Indonesia.
Anak-anak yang menyandang disabilitas pendengaran disebut dengan anak tunarungu. Anak tunarungu merupakan anak-anak yang mengalami disfungsi pendengaran dan mempengaruhi kehidupan sehari-sehari (Somantri,2007). Sedangkan, untuk anak-anak yang tidak mengalami gangguan pendengaran akan disebut sebagai anak normal. Disfungsi pendengaran yang dialami oleh anak tunarungu memiliki beberapa dampak, misalnya anak tunarungu mengalami kesulitan memproduksi bahasa dan mengalami keterlambatan dalam meniti fase perkembangan.
Anak tunarungu mengalami gangguan pendengaran sehingga memiliki hambatan dalam perkembangan bahasa dan komunikasi. Sebagai akibatnya, mereka mengalami kesulitan untuk menguasai bahasa, kekurangan kosakata, sulit mengartikan kosakata, dan sulit mengartikan kata-kata yang mengandung arti kiasan. Pada umumnya intelegensi anak tunarungu secara potensial sama dengan anak normal pada umumnya, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan bahasanya, keterbatasan informasi, dan kurangnya daya abstraksi anak. Akibat ketunarunguan itu menghambat proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas. Hal ini menimbulkan masalah-masalah dalam proses pembelajaran, salah satu permasalahan yang terjadi adalah masih kurangnya pemahaman anak tunarungu dalam pokok-pokok bahasan tertentu terutama yang bersifat abstrak.
Sesuai dengan karakteristiknya, anak tunarungu mengalihkan fungsi indra pendengarannya pada indera penglihatan. Sehingga informasi, pengetahuan dan pengalamannya lebih banyak diperoleh melalui indera penglihatan. Dilihat dari kondisi anak tunarungu diatas, anak tunarungu bisa dikatakan sebagai anak yang mebutuhkan pengembangan dalam visual, maka akan lebih baik apabila dalam proses belajarnya disekolah guru memberikan pengalaman langsung melalui media pembelajaran, misalnya dengan benda asli, tiruan, maupun gambar. Oleh karena itu pada mata pelajaran tertentu yang sifatnya abstrak dan menuntut banyak pengalaman nyata dibutuhkan suatu pendekatan pembelajaran secara khusus apabila anak tidak memahami penggunaan bahasa oral atau gerak bibir sama sekali.
Kesulitan anak tunarungu dalam mendengar dan memproduksi bahasa menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa. Anak tunarungu mengalami keterlambatan berbicara jika dibandingkan dengan anak normal pada umumnya. Selain itu, anak tunarungu memerlukan waktu yang lebih lama untuk belajar sesuatu dibandingkan dengan anak normal. Misalnya, seorang anak normal mampu untuk membuat frasa bermakna pada usia 5 tahun sedangkan anak tunarungu belum tentu menguasai hal tersebut di usia yang sama. “Anak normal‟ mampu menguasai kosakata yang lebih banyak karena mereka memiliki pendengaran yang baik sehingga mampu untuk menangkap hal tersebut dan tersimpan di memori.
Disfungsi pendengaran juga membuat anak tunarungu mengalami keterlambatan dalam perkembangan sosio-emosi. Mereka mengalami kesulitan untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain. sehingga mereka lebih sering menghasilkan emosi negatif. Emosi negatif inilah yang membuat mereka mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan sebaya. Mereka cukup sulit untuk diterima dan dipahami oleh orang-orang di sekitarnya.
Perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat mengharuskan kita untuk mengikuti perkembangan tersebut, terutama dalam kehidupan sehari-hari untuk membangun sumber daya manusia yang handal dan berkualitas. Teknologi informasi tersebut adalah media yang membantu dalam mempelajari bahasa isyarat secara umum yang dipahami sebagai media berkomunikasi pada umumnya dimengerti secara oral (berbicara) dan dalam bentuk tulisan (Wijayanto, 2010).
Kesulitan berinteraksi dengan sebaya juga merupakan hambatan dalam perkembangan sosio-emosi. Kapabilitas seseorang untuk berelasi dalam lingkungan sosial akan berkembang pada masa anak-anak. Berelasi dalam lingkungan sosial akan tampak ketika anak-anak sedang bermain. Bermain dengan teman sebaya memiliki peran penting dalam kualitas pertemanan di masa depan. Hal ini juga yang menjadi penentu keberhasilan seorang anak untuk mempertahankan relasinya dengan teman sebayanya.
Berelasi dalam lingkungan sosial dan bermain akan membangun interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan suatu proses yang dialami oleh semua manusia tidak terkecuali antar anak tunarungu dan anak normal. Proses interaksi ini terjadi antara dua orang atau lebih yang melibatkan komunikasi dan kontak sosial. Interaksi sosial pada anak tunarungu juga merujuk pada adanya komunikasi linguistik dan nonlinguistik serta permainan sosial.
Anak tunarungu cenderung untuk membangun interaksi sosial dengan sesama anak tunarungu karena mereka memiliki tingkat pendengaran yang kurang lebih sama. Selain itu, komunikasi yang terjadi antara anak tunarungu dengan anak normal terjadi lebih sedikit dibandingkan dengan antar-anak tunarungu. Hal ini tampak pada penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa anak tunarungu seringkali ditolak oleh anak normal ketika mencoba untuk melakukan kontak sosial. Terkadang komunikasi yang terjadi antara anak tunarungu dengan anak normal juga mengalami kekurangan konten linguistik dan berakhir dengan cepat.
Berdasarkan pengalaman peneliti, anak tunarungu yang menempuh pendidikan disekolah inklusi lebih sering menghabiskan waktu di sekolah sendirian. Teman-temannya yang dapat mendengar cenderung untuk mengabaikan kehadirannya. Di luar jam sekolah, anak tunarungu ini bisa berinteraksi dengan cukup baik dengan sesama anak tunarungu dan bergabung dalam suatu komunitas. Mereka bisa bercerita suatu hal dengan bahasa mereka sendiri. Hal ini membuktikan bahwa anak tunarungu merasa lebih nyaman untuk berinteraksi dengan sesama tunarungu dibandingkan dengan anak normal.
Anak tunarungu juga cenderung meminta klarifikasi terutama tentang informasi baru dibandingkan dengan anak normal. Anak tunarungu juga memberikan sentuhan netral ketika mengajak anak normal berinteraksi sedangkan ketika dengan sesama anak tunarungu mereka memutar kepala temannya agar melihat dirinya ketika
mengajak berinteraksi. Terkadang, anak tunarungu langsung bergabung dalam permainan ketika sedang bersama sesama anak tunarungu lainnya.
Kontak sosial seperti sentuhan fisik bisa terjadi di antara sesama anak tunarungu dan anak normal akan tetapi hal ini belum tentu berlaku sama pada komunikasi. Terkadang, setelah kontak sosial terjadi akan ada proses penyampaian ide atau perasaan. Hal ini yang terkadang tidak tersampaikan oleh anak tunarungu dan anak normal. Sesama anak tunarungu mampu untuk berkomunikasi satu sama lain sehingga mereka paham pesan yang disampaikan tetapi hal ini berbeda dengan komunikasi antara anak tunarungu dan anak normal. Terkadang mereka mencoba untuk berkomunikasi tetapi pesan atau maksud susah untuk tersampaikan karena anak tunarungu sulit untuk menerima stimulus berupa audio. Bahwa anak tunarungu cenderung untuk menggunakan komunikasi non linguistik ketika berinteraksi baik dengan sesama tunarungu atau dengan anak normal.
Bentuk komunikasi dan kontak sosial anak tunarungu yang berbeda membuat anak tunarungu seringmengalami penolakan dari anak normal. Penolakan yang dialami anak tunarungu membuat mereka kesulitan membangun interaksi sosial sehingga mereka tidak memiliki banyak teman. Mereka tidak memiliki banyak teman dari kalangan anak normal karena cara berinteraksi yang berbeda. Beberapa anak normal juga merasa kurang nyaman dengan keterbatasan yang dialami oleh anak tunarungu sehingga memilih untuk mengacuhkan mereka.
Kegagalan anak tunarungu dalam interaksi sosial memiliki andil yang cukup besar untuk kehidupan jangka panjang mereka. Mereka yang mengalami penolakan saat berinteraksi dengan teman sebayanya akan merasa kesepian yang berkepanjangan. Penolakan ini juga menjadi acuan apakah seorang anak tunarungu akan terus berinteraksi atau menghindari suatu interaksi. Bentuk interaksi sosial yang berbeda antar anak tunarungu dan anak tunarungu dengan anak normal membuat peneliti ingin menggambarkan bagaimana interaksi sosial antar anak tunarungu dan anak tunarungu dengan “anak dengar‟. Hal ini disebabkan penelitian sebelumnya meneliti tentang interaksi sosial pada anak tunarungu yang menggunakan alat bantu dengar dan gambaran tentang interaksi sosial mereka pun belum banyak diteliti. Selain itu, penelitian antara komunikasi dan permulaan interaksi dilakukan secara terpisah pada anak tunarungu dan anak normal.
Ada pula penelitian yang meneliti interaksi sosial anak tunarungu pada usia sekolah sehingga rentang usia responden 2 tahun –10 tahun. Berdasarkan hal tersebut, peneliti membatasi rentang usia responden dalam penelitian ini 6 tahun –12 tahun. Responden disini adalah anak tunarungu yang tidak menggunakan alat bantu dengar. Mereka juga berinteraksi baik dengan anak tunarungu maupun dengan anak normal. Pengambilan data pada penelitian sebelumnya menggunakan berbagai macam metode, seperti observasi, kuesioner, dan eksperimen. Observasi banyak digunakan pada responden dengan usia pra sekolah dan pengambilan data responden usia sekolah menggunakan kuesioner dan eksperimen. Metode pengambilan data dalam penelitian ini akan menggunakan observasi untuk melihat interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan anak normal.
Alasannya adalah untuk menggambarkan interaksi antar-anaktunarungu dan anak tunarungu dengan anak normal diperlukan pengamatan secara langsung pada lingkungan yang sesungguhnya.
Harapan peneliti dengan adanya penelitian ini hasil yang ditemukan merupakan perilaku-perilaku interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan anak normal. Berdasarkan hal tersebut, maka gambaran perilaku anak tunarungu ketika berinteraksi dengan sesamanya dan anak normal dapat terlihat jelas bagaimanakah perilaku yang muncul selama interaksi berlangsung.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah interaksi sosial antara anak tunarungu dan anak tunarungu dengan normal?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana interaksi sosial antar anak tunarungu dan anak tunarungu dengan anak normal.
Manfaat Penelitan
Secara Teoretis
Memberikan sumbangan pengetahuan dalam ranah psikologi perkembangan dan psikologi sosial tentang interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan anak normal.
Secara Praktis
Penelitian ini memberikan informasi interaksi sosial bagi orangtua dan guru agar memahami interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan anak normal. Selain memberikan informasi, diharapkan orangtua dan guru bisa memberikan dukungan kepada anak tunarungu untuk berinteraksi dengan anak normal agar anak tunarungu dapat menjalin relasi dan mempertahan relasi dengan anak normal di masa depan sehingga mereka tidak merasa kesepian.
TINJAUAN PUSTAKA
Interaksi Sosial
Berinteraksi dengan teman sebaya memiliki fungsi krusial terhadap perkembangan kehidupan sosial individu terutama anak - anak. Salah satu bentuk sosialisasi adalah interaksi sosial. Interaksi sosial bisa terjadi dengan siapa saja dan di mana saja. Interaksi sosial pertama kali terjadi pada masa kanak-kanak. Pentingnya interaksi sosial pada masa ini adalah membantu anak untuk belajar memahami perspektif orang lain terhadap realita yang ada. Hal penting lainnya adalah seorang anak belajar untuk bernegosiasi dan belajar mengenai manajemen konflik.
Definisi
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antarindividu, individu (seseorang) dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Tanpa adanya interkasi sosial maka tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Proses sosial adalah suatu interaksi atau hubungan timbal balik atau saling mempengaruhi antar manusia yang berlangsung sepanjang hidupnya didalam amasyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto, proses sosial diartikan sebagai cara-cara berhubungan yang dapat dilihat jika individu dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu serta menentukan sistem dan bentuk hubungan sosial.
Homans ( dalam Ali, 2004: 87) mendefinisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran atau hukuman dengan menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi pasangannya. Konsep yang dikemukakan oleh Homans ini mengandung pengertian bahwa interaksi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam interaksi merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu lain yang menjadi pasangannya.
Sedangkan menurut Shaw, interaksi sosial adalah suatu pertukaran antarpribadi yang masing- masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka, dan masing- masing perilaku mempengaruhi satu sama lain. Hal senada juga dikemukan oleh Thibaut dan Kelley bahwa interak si sosial sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sam lain atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi dalam kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain.
Menurut Bonner ( dalam Ali, 2004) interaksi merupakan suatu hubungan antara dua orang atau lebih individu, dimana kelakuan individu mempengaruhi, mengubah atau mempengaruhi individu lain atau sebaliknya.
Pengertian Interakasi sosial menurut beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa, interaksi adalah hubungan timbal balik anatara dua orang atau lebih, dan masing-masing orang yang terlibat di dalamnya memainkan peran secara aktif. Dalam interaksi juga lebih dari sekedar terjadi hubungan antara pihak- pihak yang terlibat melainkan terjadi saling mempengaruhi.
Komponen Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu
Soekanto (2006) mengemukakan bahwa suatu interaksi sosial baru akan terjadi apabila ada kontak sosial dan komunikasi. Dua hal ini ditetapkan sebagai syarat terjadinya interaksi sosial. Apabila hanya terjadi kontak sosial tanpa ada komunikasi maka kontak sosial tidak berarti apa-apa. Berikut penjelasan tentang kontak sosial dan komunikasi:
Kontak Sosial
Kontak sosial merupakan tahap pertama terjadinya interaksi sosial. Menurut Arifin (2015) kontak sosial merupakan hubungan antara individu atau kelompok yang di dalamnya terdapat pemahaman tentang tujuan masing-masing.
Menurut Soekanto (2013) kontak sosial terjadi apabila terdapat suatu tindakan dari satu orang dan ditanggapi oleh orang yang lainnya. Selain itu, kontak sosial terjadi apabila salah satu individu menyadari keberadaan individu lain. Berdasarkan paparan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kontak sosial adalah hubungan antara individu atau kelompok yang melibatkan kesadaran akan keberadaan individu lainnya.
Menurut Soekanto (2013) kontak sosial memiliki dua sifat, yaitu Kontak sosial primer (langsung) dan kontak sosial sekunder (tidak langsung). Kontak sosial primer merupakan suatu hubungan antar individu yang saling bertatap muka secara visual dan memiliki emosi tertentu dalam pergaulan. Misalnya, berjabat tangan, saling senyum, dan kontak mata. Sebaliknya, kontak sosial sekunder (tidak langsung) merupakan kontak sosial yang membutuhkan pihak perantara di antara individu dan ada pengaruh dari luar.
Perantara ini bisa berupa alat atau benda untuk membantu 2 atau lebih individu. Misalnya berbicara jarak jauh dengan menggunakan telepon. Selain itu, perantara juga bisa individu itu sendiri. Misalnya Individu A menceritakan perilaku individu B kepada individu C. Hal ini memunculkan kontak antara individu A dan B dengan informasi yang diberikan oleh individu C (Soekanto, 2006). Berdasarkan pemaparan di atas, definisi kontak sosial dalam penelitian ini adalah hubungan antara individu atau kelompok yang menyadari keberadaan orang lain, bertemu secara visual, dan melibatkan emosi tertentu sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain. Definisi ini disimpulkan berdasarkan definisi kontak sosial secara umum dan definisi kontak sosial primer karena hal tersebut yang akan dideskripsikan dalam penelitian ini.
Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gesture tubuh, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi nonverbal.
Langganan:
Postingan (Atom)